Baca Juga : Cegah Kebiasaan Anak Menggigit dengan Bantu Ungkapkan Emosinya
Anak-anak dengan Attention Deficit Hyperactive Disorder (ADHD), kerap dikaitkan dengan kebohongan yang kerap dilakukan.
Bahkan, kebiasaan berbohong pada anak-anak, ekrap dikaitkan juga dengan gangguan bipolar, gangguan kepribadian antisosial, juga perilaku sehari-harinya.
Dua gangguan terakhir bisa terwujud selama anak-anak telah menginjak usia remaja.
Dalam setiap contoh, kebohongan kompulsif yang dilakukan anak justru menjadi lingkaran setan, di mana mereka memiliki sensitifitas sangat rendah untuk menangkap suatu hal ini dianggap bohong atau tidak.
Pada dasarnya, perbedaan penyebab anak-anak ebrbohong memang sulit diprediksi.
Tidak ada kemungkinan yang bisa menyatakan bahwa anak akan sembuh dari kebohongan, meski telah mendapat hukuman.
Itu lantaran kebiasaan bohong seolah sudah melekat.
Peran orangtua juga tak lepas dari kebiasaan tersebut. Orangtua yang kerap memberi hukuman, bahkan kekerasan, cenderung memiliki anak yang sifatnya tukang bohong.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, anak-anak cenderung memiliki sifat untuk melindungi dirinya sendiri, tanpa peduli bagaimana orang lain atau dampak bagi hidupnya.
Ini akan berlangsung dalam waktu cukup lama dan seolah menjadi candu.
Dampak berbohong
Orangtua juga tak sebaiknya menanamkan persepsi pada anak bahwa anak diperbolehkan melakukan kebohongan demi kebaikan.
Karena pada dasarnya, kebohongan apapun, sekecil apapun, merupakan sikap dan sisi gelap yang jelas, tak terbantahkan.
Efeknya akan terakumulasi, membuat seorang anak yang nantinya beranjak dewasa terlalu nyaman dengan ketidakjujuran.
Sampai pada suatu saat, bukan tak mungkin, ia mengorbankan kesejahteraan orang lain, demi tercapainya keinginan yang berlandaskan kebohongan, sementara orang lain berhak atas hal jujur yang ia lakukan.
Sulit diprediksi dari mana asal muasal kebohongan ini, sejak kapan dimuulai dan jalan pikiran untuk memahaminya, psikiater mencatat di sinilah masalah terbesar baginya juga yang harusnya diraskan orangtua.
Menurut penelitian yang dilakukan Forman, kebiasaan bohong mengarah pada disfungsi sistem saraf.
40 persen sistem saraf akan mengalami penurunan akibat melakukan kebiasaan berbohong.
Pada penelitian lain, mengimplikasikan kurangnya kecerdasan dan juga stabilitas kehidupan juga menjadi dampak panjang seseorang terbiasa berbohong.
“Saya pikir banyak pemuda yang tumbuh dalam situasi yang kurang beruntung jika ia tumbuh di lingkungan di mana hubungannya dengan hokum atau kepolisian penegak hukum kurang ideal,” ujar Forman.
Baca Juga : Bergelimang Harta, Begini Cara Syahrini Meredam Amarahnya, Berkelas!
Ketiadaan penegakan hukum juga otoritas juga memengaruhi seseorang melakukan kebohongan.
“Saya mengkhawatirkan bahwa dalam diagnosis kami, terutama dalam gangguan kepribadian antisosial, sampai batas tertentu di mana didefinisikan sebagai masalah hukum. Bahwa individu dari suatu kelompok yang memiliki sosial ekonomi rendah mungkin tidak mendapatkan keadilan,” tutupnya.
Kebohongan patologis tidak muncul seperti tumor, yang bisa menimbulkan gejala, tetapi baru berdampak, beberapa tahun setelahnya.
“Kebohongan yang dimotivasi dengan membantu sesama demu jebaikan, memiliki hari yang lebih memuaskan, kehidupan yang lebih baik, tidak akan merugikan orang lain,” ujar Forman.
Akan tetapi, “kerugian sesungguhnya justru pada seseorang yang melakukan kebohongan.”
Source | : | Medical Daily,Livestrong,parenting |
Penulis | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
Editor | : | David Togatorop |
KOMENTAR