“Anak-anak yang sangat muda tidak tahu perbedaan antara kebenaran dan fiksi,” ujarnya.
Berbeda halnya dengan Brody, Angela Crossman, Ph.D, seorang profesor psikologi di John Jay College of Criminal Justice, New York menyampaikan hal berbeda.
Ia pernah melakukan penelitian pada subjek yang sama dan ia mendapat hasil bahwa anak-anak prasekolah justru cenderung ber-IQ tinggi, ketika ia melakukan kebohongan.
Simpulan itu ia dapat lantaran kemampuan berbohong yang dilakukan anak berkaitan dengan ketrampilan sosialnya saat remaja.
Meski begitu, mereka menilai bahwa kebohongan ini tak bisa dianggap sepele.
Ketika usianya sudah mampu menerima dan menangkap perintah juga arahan, anak haruslah ditanamkan rasa menghargai kejujuran.
Mengapa hal tersebut harus dilakukan? Karena untuk membantu dan memandu anak melakukan kebenaran seusianya.
Menurut Diagnostoc and Statistical Manual (DSM), kebohongan atau melakukan kebohongan disebut sebagai pseudologia fantastica.
Tindakan pseudologia fantastica dianggap sebagai sebuah penyimpangan sosial yang mengklasifikasikan tindakan kebohongan menjadi gangguan kepribadian antisosial.
Sehingga, bila hal tersebut menjadi sebuah kebiasaan, diagnosisnya akan melebar dan lebih berdampak pada kelangsungan hidup.
DSM mengatakan bahwa kebohongan ada dalam literature yang dipelajari sejak 2005.
Sekelompok psikiater menerbitkan laporan yang mencoba menguraikan beberapa kesalahpahaman gangguan.
Social Bella 2024, Dorong Inovasi dan Transformasi Strategis Industri Kecantikan Indonesia
Source | : | Medical Daily,Livestrong,parenting |
Penulis | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
Editor | : | David Togatorop |
KOMENTAR