Nakita.id - Setiap orangtua pasti tak ingin memiliki anak yang memiliki sifat berbohong.
Meskipun dalam berbagai hal, berbohong dianggap baik, nyatanya, berbohong justru akan berimbas buruk bagi masa depan juga kelangsungan hidup manusia.
Kebiasaan berbohong ini agaknya memang harus dihindari orangtua dari anak-anaknya.
Di masa pertumbuhan dan perkembangan, anak-anak biasanya akan mengimitasi atau menirukan hal-hal yang orangtua atau lingkungan sekitarnya lakukan.
Tak jarang, ia melakukan beberapa poin yang membuatnya justru terjebak dalam kemarahan orangtua, lantaran melakukan hal yang tak sebaiknya dilakukan.
Meski sudah diingatkan, kadang anak-anak memang belum memiliki kontrol untuk dirinya sendiri, bagaimana suatu hal yang ia lakukan bisa menguntungkan atau merugikan.
Bahkan, kebiasaan berbohong akan membuat sifat tersebut seolah sudah menjadi refleks diri dan juga berlanjut hingga dewasa, sehingga menyebabkan masalah yang signifikan bagi kehidupan pribadi dan sosialnya.
Kebohongan kompulsif akan menunjukkan gangguan dasar pada pribadi anak, yang tanpa disadari bisa mengganggu tumbuh kembang bahkan prestasinya.
Kebohongan seolah terus berkembang. Bahkan mereka memilih berpegang teguh pada kebohongannya, meski ia sadar yang dilakukan salah.
Itu bukanlah suatu hal yang tabu. Karena kebiasaan berbohong akan melekat dan justru akan membuat seorang anak merasa nyaman ketika dirinya berbohong pada orang-orang sekitarnya.
Melansir dari Parenting.com, Michael Brody, MD, seorang psikiater anak mengatakan bahwa tidak ada saat anak-anak usia 3 hingga 6 tahun melakukan kebohongan.
“Anak-anak yang sangat muda tidak tahu perbedaan antara kebenaran dan fiksi,” ujarnya.
Berbeda halnya dengan Brody, Angela Crossman, Ph.D, seorang profesor psikologi di John Jay College of Criminal Justice, New York menyampaikan hal berbeda.
Ia pernah melakukan penelitian pada subjek yang sama dan ia mendapat hasil bahwa anak-anak prasekolah justru cenderung ber-IQ tinggi, ketika ia melakukan kebohongan.
Simpulan itu ia dapat lantaran kemampuan berbohong yang dilakukan anak berkaitan dengan ketrampilan sosialnya saat remaja.
Meski begitu, mereka menilai bahwa kebohongan ini tak bisa dianggap sepele.
Ketika usianya sudah mampu menerima dan menangkap perintah juga arahan, anak haruslah ditanamkan rasa menghargai kejujuran.
Mengapa hal tersebut harus dilakukan? Karena untuk membantu dan memandu anak melakukan kebenaran seusianya.
Menurut Diagnostoc and Statistical Manual (DSM), kebohongan atau melakukan kebohongan disebut sebagai pseudologia fantastica.
Tindakan pseudologia fantastica dianggap sebagai sebuah penyimpangan sosial yang mengklasifikasikan tindakan kebohongan menjadi gangguan kepribadian antisosial.
Sehingga, bila hal tersebut menjadi sebuah kebiasaan, diagnosisnya akan melebar dan lebih berdampak pada kelangsungan hidup.
DSM mengatakan bahwa kebohongan ada dalam literature yang dipelajari sejak 2005.
Sekelompok psikiater menerbitkan laporan yang mencoba menguraikan beberapa kesalahpahaman gangguan.
Termasuk di antara golongan kebohongan itu yaitu, berpura-pura sakit -- sementara dalam keadaan baik-baik saja, melebih-lebihkan suatu hal tertentu, misalnya berbohong tentang tinggi badan – agar diterima dalam sebuah perkumpulan atau kelompok bahkan pekerjaan yang mematok tinggi badan, dan masih banyak lain.
Orang yang sengaja memalsukan kondisi tersebut memang memiliki keuntungan tersendiri, dalam waktu tertentu.
Tetapi akan berdampak negatif dalam waktu yang cukup lama.
Dan masih banyak lagi kegiatan kebohongan yang dilakukan, dan dianggap sebagai gangguan kepribadian antisosial.
Lalu, apa yang mendasari anak melakukan kebohongan?
Melakukan kebohongan bukan berarti tak memiliki dasar atau alasan.
Meski sudah menjadi kebiasaan, kebohongan pasti memiliki berbagai dasar, kurang lebih seperti yang dijelaskan di atas.
Dan lebih jelasnya, berikut alasan dasar seseorang melakukan kebohongan:
1. Menghindari rasa malu
Baca Juga : 'Jangan Bilang Sama Mama, Ya?' Awas! Suruh Anak Berbohong Akibatnya Bisa Fatal
Menurut Dr Howard Forman, direktur medis Layanan Konsultasi Ketergantungan di Montefiore Medical Center mengatakan bahwa orang yang memiliki kebiasaan berbohong memiliki maksud yang berbeda-beda.
Kebohongan yang akhirnya sudah menjadi gejala gangguan mental tersebut pastilah memiliki dasar.
Mereka menunjukkan kebiasaan yang merujuk pada gejala detasemen, kurangnya emosi dan juga kebutuhan pribadi.
“Saya pikir bahwa jika ada satu faktor utama, atau motivasinya berbohong hampir universal. Mereka melakukannya untuk menghindari rasa malu,” ujarnya.
Ia malu mengakui berbagai hal, yang di kalangannya dianggap tabu atau bahkan melakukan, padahal ia berhak dan membutuhkannya.
Sehingga ia memilih untuk mengantongi kebenarannya, dan mengeluarkan jurus kebohongannya.
Mereka merasa bahwa kebohongannya termasuk dalam bagian, ‘berbohong untuk kebaikan’.
Faktanya, sikap tersebut kemudian akan menjadi ganjalan yang berdampak besar bagi hidupnya.
2. Takut hukuman
Pada anak-anak, biasanya mereka memiliki ketakutan terhadap tindakan keras orangtua atau bahkan kemarahan orangtuanya.
Bukan tidak mungkin, suatu hal yang disadari anak-anak merupakan kesalahan justru tetap dilakukan dan akan berdampak buruk.
Untuk menutupinya, mereka akan berbohong pada orangtua mereka, hanya untuk memberi keamanan agar ia tak tersambar kemarahan orangtua.
Karena pada umumnya, orangtua akan memberi hukuman kepada anaknya yang ebrlaku salah.
Anak-anak melakukan hal ini demi untuk menghindari hukuman yang dilakukan orangtuanya.
Parahnya, anak-anak yang biasa hidup atau tinggal di lingkungan yang rentan ancaman, justru akan melakukan kebohongan kompulsif, atau terus-menerus.
Ia akan menciptakan kebohongan baru, demi menutupi kebohongan sebelumnya.
Ini ia lakukan untuk menghindari hukuman yang akan dilayangkan dan diancamkan kepadanya.
3. Dorongan dari dalam diri
Baca Juga : Curiga Dibohongi Pasangan? Begini Cara Mudah Mendeteksinya, Hanya Hitungan Detik
Ada beragam alasan berbohong, salah satunya adalah sifat kompulsif.
Di era modern ini, anak-anak dan orang dewasa melakukan kebohongan karena meniru atau kebiasaan.
Anak tak mungkin mengembangkan kebiasaan membohongnya, apabila lingkungannya selalu berlaku jujur dalam segala hal.
Anak juga tak mungkin melakukan kebohongan, bila lingkungannya memiliki kepribadian menghargai orang lain.
Sehingga dalam kasus ini, dorongan dari dalam dirilah yang membuat anak-anak akan melakukan kebohongan.
Mereka cenderung mencari perhatian lingkungan sekitar, dengan cara menyebar hal-hal negatif yang belum tentu kebenarannya.
Tak menutup kemungkinan, anak-anak juga tak menyadari bahwa rendahnya harga dirinya bisa berkontribusi dalam kebiasaannya berbohong.
4. Imajinasi terlalu tinggi
Anak di bawah usia enam tahun memiliki pemahaman yang tidak konsisten mengenai realitas atau fantasi, juga imajinasi.
Anak-anak sangat pandai berimajinasi, sehingga menurutnya, kebohongan merupakan hal sepele yang bisa termaafkan.
Tujuan mereka, sebatas untuk menarik lawan bicara demi mendapat perhatian, padahal hal tersebut memicu munculnya kebiasaan menjadi seorang pembohong.
Tetapi kenyataannya, kebohongan kompulsif justru akan menjadi imajinasi dalam hidupnya untuk terus menciptakan imajinasi baru dengan dasar kebohongan.
Meski sulit menjelaskan pada anak, bagaimana fantasi dan kebohongan itu disekat, tetapi orangtua tak selamanya dibenarkan untuk mendorong anak memiliki imajinasi tinggi.
Imajinasi boleh saja tetap berjalan, dengan catatan, orangtua juga harus mampu menyaring antara imajinasi dan juga kebohongan.
Tak ada salahnya mengingatkan juga menegur, agar sedini mungkin, anak-anak tidak disetir oleh imajinasi yang sebenarnya berdasar dari kebihingan.
Realitanya, kasus inilah yang sangat dikhawatirkan. Terutama bagi orangtua baru.
Mereka bukan tidak mungkin menyetujui dan selalu mendukung anaknya demi tumbuh kembangnya, tapi perlu disadari, dalam emnumbuhkan tumbuh kembang, anak-anak juga harus memiliki control diri.
5. Kelainan, diagnosis ADHD
Kebohongan tertentu ternyata bisa juga dilakukan lantaran adanya gangguan kelainan pada anak.
Baca Juga : Cegah Kebiasaan Anak Menggigit dengan Bantu Ungkapkan Emosinya
Anak-anak dengan Attention Deficit Hyperactive Disorder (ADHD), kerap dikaitkan dengan kebohongan yang kerap dilakukan.
Bahkan, kebiasaan berbohong pada anak-anak, ekrap dikaitkan juga dengan gangguan bipolar, gangguan kepribadian antisosial, juga perilaku sehari-harinya.
Dua gangguan terakhir bisa terwujud selama anak-anak telah menginjak usia remaja.
Dalam setiap contoh, kebohongan kompulsif yang dilakukan anak justru menjadi lingkaran setan, di mana mereka memiliki sensitifitas sangat rendah untuk menangkap suatu hal ini dianggap bohong atau tidak.
Pada dasarnya, perbedaan penyebab anak-anak ebrbohong memang sulit diprediksi.
Tidak ada kemungkinan yang bisa menyatakan bahwa anak akan sembuh dari kebohongan, meski telah mendapat hukuman.
Itu lantaran kebiasaan bohong seolah sudah melekat.
Peran orangtua juga tak lepas dari kebiasaan tersebut. Orangtua yang kerap memberi hukuman, bahkan kekerasan, cenderung memiliki anak yang sifatnya tukang bohong.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, anak-anak cenderung memiliki sifat untuk melindungi dirinya sendiri, tanpa peduli bagaimana orang lain atau dampak bagi hidupnya.
Ini akan berlangsung dalam waktu cukup lama dan seolah menjadi candu.
Dampak berbohong
Orangtua juga tak sebaiknya menanamkan persepsi pada anak bahwa anak diperbolehkan melakukan kebohongan demi kebaikan.
Karena pada dasarnya, kebohongan apapun, sekecil apapun, merupakan sikap dan sisi gelap yang jelas, tak terbantahkan.
Efeknya akan terakumulasi, membuat seorang anak yang nantinya beranjak dewasa terlalu nyaman dengan ketidakjujuran.
Sampai pada suatu saat, bukan tak mungkin, ia mengorbankan kesejahteraan orang lain, demi tercapainya keinginan yang berlandaskan kebohongan, sementara orang lain berhak atas hal jujur yang ia lakukan.
Sulit diprediksi dari mana asal muasal kebohongan ini, sejak kapan dimuulai dan jalan pikiran untuk memahaminya, psikiater mencatat di sinilah masalah terbesar baginya juga yang harusnya diraskan orangtua.
Menurut penelitian yang dilakukan Forman, kebiasaan bohong mengarah pada disfungsi sistem saraf.
40 persen sistem saraf akan mengalami penurunan akibat melakukan kebiasaan berbohong.
Pada penelitian lain, mengimplikasikan kurangnya kecerdasan dan juga stabilitas kehidupan juga menjadi dampak panjang seseorang terbiasa berbohong.
“Saya pikir banyak pemuda yang tumbuh dalam situasi yang kurang beruntung jika ia tumbuh di lingkungan di mana hubungannya dengan hokum atau kepolisian penegak hukum kurang ideal,” ujar Forman.
Baca Juga : Bergelimang Harta, Begini Cara Syahrini Meredam Amarahnya, Berkelas!
Ketiadaan penegakan hukum juga otoritas juga memengaruhi seseorang melakukan kebohongan.
“Saya mengkhawatirkan bahwa dalam diagnosis kami, terutama dalam gangguan kepribadian antisosial, sampai batas tertentu di mana didefinisikan sebagai masalah hukum. Bahwa individu dari suatu kelompok yang memiliki sosial ekonomi rendah mungkin tidak mendapatkan keadilan,” tutupnya.
Kebohongan patologis tidak muncul seperti tumor, yang bisa menimbulkan gejala, tetapi baru berdampak, beberapa tahun setelahnya.
“Kebohongan yang dimotivasi dengan membantu sesama demu jebaikan, memiliki hari yang lebih memuaskan, kehidupan yang lebih baik, tidak akan merugikan orang lain,” ujar Forman.
Akan tetapi, “kerugian sesungguhnya justru pada seseorang yang melakukan kebohongan.”
Masih Banyak yang Keliru, Begini Cara Tepat Melakukan Toilet Training pada Anak
Source | : | Medical Daily,Livestrong,parenting |
Penulis | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
Editor | : | David Togatorop |
KOMENTAR