Mengenal Tradisi Minum Teh di Indonesia, Awalnya Hanya Dinikmati Bangsawan

By Soesanti Harini Hartono, Minggu, 15 Juli 2018 | 16:54 WIB
Budaya minum teh menggunakan teh wangi melati yang diseduh di dalam poci bersamaan dengan gula batu sebagai pemanis, setelah itu teh dituang ke gelas-gelas kecil. (Kompas)

Nakita.id.-  Kita tahu bahwa selama ini Jepang memiliki tradisi khusus dalam menikmati teh.

Hal ini mereka sebut dengan nama "Sadou", di mana mereka melakukan upacara minum teh hanya bersama kalangan bangsawan dalam menjamu tamu.

Namun, kini tradisi tersebut bisa dilakukan oleh semua kalangan masyarakat Jepang. Selain itu Inggris juga mempunyai tradisi minum teh di sore hari yang dikenal dengan sebutan "Afternoon Tea".  

BACA JUGA: Mengapa Tak Boleh Minum Teh Setelah Makan? Ini Alasannya, Moms

Ciri khasnya adalah teh disajikan dengan camilan-camilan kecil yang disusun di nampan lapis tinggi atau three tier.

Tradisi afternoon tea sudah melewati sejarah panjang sejak tahun 1800-an dan populer di kalangan bangsawan Inggris di masa itu.

Karena afternoon tea lebih ke urusan gaya hidup, maka segala sesuatunya tampil begitu cantik. Mulai dari peralatan minum teh seperti cangkir hingga taplak meja. Tidak berbeda dengan Jepang  dan Inggris, ternyata Indonesia juga memiliki tradisi serupa.

Apalagi mengingat Indonesia merupakan salah satu negara penghasil teh terbesar dan terbaik di dunia.

Maka tidak heran jika tradisi minum teh di Indonesia menyebar ke berbagai daerah dengan cara yang berbeda-beda. Menurut Indrakarona Ketaren, Ketua Gastronomi Indonesia, masyarakat Indonesia sudah menjadikan minum teh sebagai sebuah tradisi turun menurun.

Tradisi minum teh ini awalnya hanya dimiliki kalangan bangsawan, namun kemudian sudah menjadi kebiasaan masyarakat luas.

Contoh kebiasaan Gusti Adipati Paku Alam VII yang selalu melestarikan tradisi minum teh bersama keluarganya setiap sore hari.

BACA JUGA: Wow, Nasi Dari Kembang Kol, Kabar Baik Untuk Diabetesi dan Pecinta Diet! Teh pertama kali dikenal pada 1686, yakni ketika warga kebangsaan Belanda, Dr. Andreas Cleyer membawa tanaman tersebut ke Indonesia sebagai tanaman hias.

Pada 1782 Pemerintah Belanda mulai membudidayakan tanaman the utamanya di Pulau Jawa dengan mendatangkan biji-biji teh dari China. Semenjak itu, dimulailah kebiasaan untuk minum teh di negeri ini, terutama di Jawa. Memang sejatinya tradisi minum teh merupakan proses akulturasi yang dibawa oleh para pendatang (Cina), ditambah proses meniru dari Belanda yang menjajah bumi Nusantara.

Namun bukan berarti bangsa kita meniru bulat tradisi minum teh itu sedemikian rupa tanpa menjelaskan sebab musababnya sebagai suatu budaya masyarakat setempat.

Di bawah ini beberapa tradisi minum teh di  Indonesia di berbagai daerah; # Teh Poci di Jawa

Khusususnya di Cirebon, Slawi, Tegal, Brebes, Pemalang, dan sekitarnya, budaya minum teh menggunakan teh wangi melati yang diseduh di dalam poci bersamaan dengan gula batu sebagai pemanis, setelah itu teh dituang ke gelas-gelas kecil.

Tradisi ini disebut “Teh Poci”. Uniknya, penikmat teh ini hanya dibolehkan menambahkan gula batu, tetapi tidak boleh mengaduknya.

Mengapa? Ternyata hal ini memiliki filosofinya tersendiri, yakni hidup ini memang pahit pada awalnya, namun jika ingin bersabar maka kita akan mendapatkan manisnya. Jadi, gula dibiarkan mencair dan menyebar dengan sendirinya.

BACA JUGA: Mengapa Mengepel Lantai Harus Pakai Cairan Pembersih? Ini Alasannya, Moms # Nyaneut di Sunda

Biasanya Nyaneut dilakukan saat menyambut malam Tahun Baru Islam. Nyaneut sendiri merupakan singkatan dari Nyai Haneut atau Cai Haneut yang berarti air hangat.

Tradisi minum teh ini pun memiliki tata cara, yaitu sebelum meminum teh, kita harus memutar gelas teh di telapak tangan sebanyak 2 (dua) kali. Kemudian, aroma teh harus dihirup sekira 3 (tiga) kali dan barulah teh boleh diminum.

# Patehan, Keraton Yogyakarta

Tradisi Patehan tidak bisa dilakukan oleh siapa saja, hanya boleh dilakukan oleh lingkungan keraton.

Nama “Patehan” itu sendiri diambil dari tempat tradisi ini dilakukan, yakni di Bangsal Patehan.

Prosesi tradisi ini dilakukan oleh 5 (lima) perempuan dan 5 (lima) pria yang berpakaian adat Jawa dalam meracik dan menyajikan teh lengkap dengan makanan ringan yang dikhususkan untuk raja, keluarga, dan tamu keraton.

BACA JUGA: Dua Jenis Rempah Ini Ampuh Kurangi Risiko Diabetes, Mudah dan Murah! # Nyahi di Betawi

Sajian teh ala Betawi ini dilakukan di pagi maupun sore hari.

Biasanya cenderung ringan alias tidak seberapa kental dengan citarasa yang mengarah ke tawar. Konon kata "Nyahi" sendiri berasal dari proses akulturasi pengaruh budaya Arab, dari kata "Syahi" yang artinya teh.

Ada pula yang mengatakan budaya ini diadaptasi dari budaya minum teh di Cina. Kegiatan Nyahi biasanya dilakukan bersama keluarga atau teman pada sore hari beberapa jam usai waktu makan siang.

Yang diminum adalah teh tubruk, yakni minuman dari daun teh kering yang langsung diseduh tanpa disaring, ditaruh dalam teko kaleng blibrik atau teko berbahan kuningan.

Tradisi minum teh gaya Betawi biasanya dinikmati dengan gula kelapa. Pemanis tersebut akan digigit terlebih dahulu, dilanjutkan dengan menyeruput teh hangat.

Namun ada banyak variasi jajanan khas Jakarta yang dapat memberi rasa manis pada sebuah momen minum teh, sehingga bisa saja tidak lagi harus repot menggigit gula kelapa. Nyahi yang sesungguhnya di sebuah keluarga Betawi, bukan menggunakan perlengkapan teh porselen atau keramik, melainkan gelas bermotif bunga warna "ngejreng" (gelas kampung), atau gelas belimbing dengan beralaskan cawan kecil agak cekung. Sambil "sruput" teh panas biasanya ditemani kudapan yang  ditaruh berjejer di meja panjang, berupa jalabia, cucur, talam, ape (pepe), apem, wajik sambil ngupas kacang tanah, pisang atau jagung rebus.

Keluarga atau  bersama tamunya melakukan minum teh sambil duduk dan ngobrol di meja panjang itu.

BACA JUGA: Ingin Diet Cepat Berhasil? Hindari Karbohidrat Ini di Malam Hari! Selain keterangan tradisi di atas, adalah Serat Centhini yang salah satunya melukiskan budaya tradisi minum teh tersebut.

Seperti diketahui, masyarakat Jawa, termasuk di dalamnya masyarakat Surakarta, dalam keseharian mempunyai kebiasaan maka 3 (tiga) kali sehari serta mengongsumsi kudapan 2 (dua) kali sehari. 

Disebutkan dalam Serat Centhini, masyarakat Jawa biasa makan pada pagi hari sesudah menikmati kudapan, siang hari sesudah waktu dzuhur, kemudian menikmati kudapan pada waktu sore hari dan makan malam pada malam hari sesudah magrib atau isya.

BACA JUGA: Ingin Panjang Umur? 5 Tempat Ini Bisa Menjadi  Pilihan Untuk Tempat Tinggal Pada saat mengongsumsi kudapan di sore hari hidangan minumannya adalah wedang teh gula batu selain wedang herbal seperti wedang jahe, wedang kacang, wedang tape wedang dongo (ronde) dan lain sebagainya. (*)