Menantang Maut di Pelupuk Mata, Kisah Pramugari Garuda yang Dibantu Dosen UPI yang Selamat Dari Reruntuhan Hotel Mercure

By Cynthia Paramitha Trisnanda, Jumat, 5 Oktober 2018 | 12:50 WIB
Hotel Mercue rusak parah akibat guncangan gempa dan tsunami (Facebook.com/Andika Dutha Bachari)

Selepas keluar dari Pintu alfamidi yang saya dorong, di hadapan saya ada seorang Nenek Tua yang meminta sedekah. Reflek uang kembalian belanja di Alfa Midi saya serahkan seluruhnya, jumlahnya sekitar 74 Ribu (Saya yakin, sedekah ini juga yang menyelamatkan saya).

Sampai di kamar hotel pukul 13.30 Wita. Saya naik ke lantai 3 tempat kamar saya berada di kamar 322. Saya langsung shalat dzuhur begitu sampai di kamar. Setelah itu saya tidur karena rencananya saya akan dijemput teman-teman FKIP UNTAD Pukul 18.00.

Pukul 16.00 saya terbangun. Saya bergegas mengambil air wudlu dan menegakkan shalat Ashar. Pukul 16.30 saya turun ke bawah, perut saya lapar ingin makan dan saya mau mencetak tiket kepulangan ke Bandung. Sebab, pada pertemuan malam (ketika saya rencananya mau dijemput teman-teman FKIP UNTAD) SPPD dan boarding pass akan saya serahkan.

Saya turun ke bawah dengan celana pendek hitam dan kaos hitam. Dompet dan HP ada di celana. Selepas makan, saya berhasil mencetak tiket pulang di document corner Hotel Mercure tempat saya menginap.

Saya kemudian naik ke atas untuk masuk ke kamar. Rencananya saya mau mandi karena akan dijemput Pukul 18.00. Sampai di kamar, saya rebahan sambil memainkan gadget untuk menyapa kawan-kawan di Bandung. Entah mengapa saya begitu malas untuk mandi, dan memilih bermalas-malasan di atas kasur. Padahal, cuaca Palu sangat panas.

Beberapa kawan in line berkomunikasi dengan saya melalui WA, termasuk beberapa rekan dari Mabes Polri yang sedang berkonsultasi atas beberapa perkara yang sedang mereka tangani.

Pukul 18.02 Wita tiba-tiba saja kamar bergoncang hebat. Guncangannya sangat dahsyat. Kamar mandi di kamar saya hancur, kaca pecah. Atap dinding kamar roboh. Saya tetap tenang berdiri di pojok kamar karena saya lihat itu adalah tulang beton yang kemungkinan ambrolnya kecil, paling patah.

Saya diam sambil bertakbir, membacakan shalawat nariyah. Bayangan saya sudah gelap. Hari itu saya pasti mati. Goncangan cukup lama, sekitar 4 menit. Setelah reda, saya berusaha keluar kamar. Pintu kamar harus saya tarik dengan susah payah, karena terhalangi material reruntuhan kamar atas yang ambrol ke bawah. Setelah pintu kamar berhasil saya buka, Astagfirullah lorong hotel sudah ambruk. Plafon sudah berserakan menutupi lorong. Debu sangat tebal di lorong hotel itu. Saya berusaha melewati lorong-lorong hotel.

Baca Juga : Ibunya Meninggal Dunia, Bocah Laki-laki Ajukan Permintaan pada Jokowi: Pak, Ikut Boleh Tidak?

Tiba-tiba saya bertemu dengan dua orang pramugari lion dan salah seorang pegawai hotel yang berusaha mendobrak emergency exit. Saya dekati mereka. Lalu saya katakana jangan dipaksakan. Insting saya berkata bahwa saya jangan masuk ke emergency exit. Sebab lantai 1 dan 2 sudah amblas. Kita bisa terjebak nanti. Saya pimpin mereka untuk berjalan menyusuri lorong-lorong hotel, arah kiri lift.

Setelah berjalan 50 meter saya melihat ada kamar terbuka dan di balik jendela kamar itu saya melihat ada orang yang melambai-lambaikan tangannya. Tanpa pikir panjang saya masuk ke kamar itu, lalu saya ambil kursi dan saya pecahkan kaca jendela kamar itu. Setelah kaca jendela pecah saya loncat dari kamar yang terletak di lantai 3 itu.

Saya selamat sampai di bawah, tanpa luka sedikit pun. Kemudian pegawai hotel yang loncat kedua. Saya bantu menyanggap dia di bawah, kemudian gilran crew lion yang loncat. Saya dan petugas hotel menyanggap keduanya dari bawah.

Ternyata saya berada di di atas roof top bagian belakang hotel. Di sana sudah banyak tamu yang selamat, tapi kebanyakan para karyawan. Bahkan GM hotel tersebut dan anak owner hotel tersebut ada bersama kami. Kami berkumpul di sana. Baru saja dua menit berkumpul di sana, tiba-tiba sunami datang. Kurang lebih sunami itu 5-7 meter tingginya.

Kami berlomba naik ke atas bangunan tempat menyimpan genset. Air masih menggulung. Saya naik paling akhir ke atas bangunan tempat menyimpan genset tersebut. Kondisi chaos. Saya shalat di atas bangunan itu, bersama beberapa korban muslim lainnya. Air menggenang di bawah kurang lebih 3 meter tingginnya. Saya khawatir air itu cepat surut karena kalau surut cepat itu petanda akan ada gelombang sunami yang lebih tinggi.

Di atas bangunan genset beberapa orang terluka, ada yang robek kakinya seperti yang dialami Captain Martin Pilot Lion , ada yang bengkak tangan dan kakinya seperti Mbak Tria yang Pramugari Garuda, dan ada juga yang bocor kepalanya seperti yang dialami Pilot Garuda serta Asisten 2 Walikota Makasar yang sedang mewakili Walikota di acara itu. Namun, umumnya, semua mengalami shock yang hebat.

Kebetulan di antara korban yang selamat ada salah seorang peserta Paralayang (Pak Rahmat) yang membawa alat komunikasi Radio dan seorang lagi pelanggan fitness gym hotel mercure yang membawa HP berkartu XL. Saat itu, hanya kartu XL yang bisa digunakan.

Secara bergantian, kami menghubungi keluarga untuk mengabarkan bahwa kami selamat namun masih dalam ancaman bahaya. Saya pun berhasil menghubungi keluarga saya dan mengabari bahwa kondisi saya selamat.

Air surut kira-kira pukul 22.00 Wita, dan goncangan gempa susulan tidak begitu sering lagi frekuensinya, hanya 2-3 kali dalam 1 jam. Atas komando petugas hotel kami turun ke bawah setelah bertahan di atas bangunan genset.

Kami turun ke bawah dengan menggunakan rak piring hotel yang difungsikan sebagai tangga darurat. Ada 34 orang yang selamat di hotel itu, dari 115 kamar yang terisi penuh hanya 19 kamar saja yang belum terisi tamu.

Ketika berhasil turun ke bawah, beberapa mayit sudah tergeletak di jalan. Petugas hotel berinisiatif menutupinya dengan seprai hotel. Kira-kira pukul 01.00 WITA dini hari, kami dievakuasi ke Masjid Agung.

Di sana sudah banyak pengungsi. Saya dan tamu mercure lainnya bermalam di pelataran Masjid Agung. Kami tidur di atas paving block dalam keadaan gelap gulipa karena tak ada lagi listrik, dan alat komunikasi tak berfungsi. Kami menginap termasuk dengan owner dan anaknya di Masjid Agung.

Ada dua bagian yang diceritakan Andika tentang bagaimana perjuangannya sampai akhirnya ia selamat dan akhirnya Andika bisa pulang ke Bandung setelah menempuh perjalanan yang cukup lama dan cukup berat.

Baca Juga : Dua Hari Terjebak Reruntuhan Hotel Roa Roa, Seorang Perempuan Berhasil Selamat, Ini Sebabnya!

Kisah Andika yang kemudian ditulis dan juga dikutip ulang oleh Nakita.id, ditulis berdasarkan persetujuan dari pihak yang bersangkutan.

Dua kisah yang berbeda dari Tria juga Andika ini sekali lagi menceritakan bagaimana jerih payah para korban untuk selamat dari maut.

Juga karena adanya pertolongan satu sama lain yang membuat banyak korban juga selamat dari maut.

Tria dan Andika hanyalah dua dari ribuan kisah korban selamat yang akhirnya kembali bisa bertemu keluarganya.

Kini, Tria sudah berada di Jakarta dan sudah bersiap untuk menunaikan tugasnya sebagai seorang pramugari, sementara Andika juga sudah tiba di Bandung dan kembali siap mengemban tugas sebagai seorang dosen.

Selamat bertugas kembali, semoga kisah mereka dapat menginspirasi banyak orang, tentang perjuangan hidup dan tentang kehendak Tuhan.