Menantang Maut di Pelupuk Mata, Kisah Pramugari Garuda yang Dibantu Dosen UPI yang Selamat Dari Reruntuhan Hotel Mercure

By Cynthia Paramitha Trisnanda, Jumat, 5 Oktober 2018 | 12:50 WIB
Hotel Mercue rusak parah akibat guncangan gempa dan tsunami (Facebook.com/Andika Dutha Bachari)

Nakita.id - Selamat dari gempa dahsyat berkekuatan 7,4 SR memang bukan hal yang mudah.

Donggala, Palu, Sigi dan sekitarnya diguncang gempa berkekuatan hebat, tepat seminggu yang lalu, pada Jumat (28/9/2018).

Hingga kini, korban meninggal dunia telah ditemukan lebih dari 1.000 jiwa dan korban luka-luka juga lebih dari 700 jiwa.

Banyak yang masih mengalami ketakutan juga trauma berlebih, mengingat bencana gempa dan tsunami datang dengan sangat cepat.

Tak heran bila trauma menyelimuti para korban, sehingga banyak di antara mereka yang memilih keluar Kota Palu untuk pergi dan menghilangkan trauma mereka.

Warga meninggalkan kota ini untuk mencari keamanan dan juga bertemu dengan keluarga mereka di luar Palu demi mencari keamanan juga keselarasan hidup yang dirasa lebih baik.

Mereka berbondong-bondong memadati Bandara Mutiara Sis Al Jufri Palu dan akan diterbangkan dengan pesawat Hercules milik TNI AU ke beberapa kota, misalnya Makassar, Manado, Poso, Jakarta, Surabaya hingga Bali.

Kebanyakan dari mereka yang memilih evakuasi ke luar kota, adalah mereka yang bekerja di Palu dan berasal dari luar kota.

Beberapa korban dampak bencana gempa dan tsunami di Palu yang berhasil dievakuasi dari Palu ke Jakarta, melalui Makassar adalah crew Garuda Indonesia yang saat itu menginap di Hotel Mercure.

Belakangan ini, saya membaca kisah yang sangat mengiris, datang dan ditulis dari sebuah akun Instagram bernama Tria Aditia Utari.

Tria merupakan salah satu pramugari crew GA 608, yang menginap di Hotel Mercue bersama crew lainnya, saat gempa berkekuatan 7,4 SR melanda Palu dan sekitarnya.

Dalam akun Instagram-nya Tria membagi kronologis perjuangannya selamat dari maut yang mungkin saja bisa merenggut nyawanya bila ia salah ambil langkah.

Kisah Perjuangan Tria, Pramugari Garuda Indonesia yang Selamat dari Maut

Baca Juga : Bermodal Linggis, Seorang Ayah Berusaha Cari Anak Gadisnya di Reruntuhan Hotel Roa Roa,

Merangkum kisah dari Tria, begini usahanya menyelamatkan diri dari maut, yang dirangkum Nakita.id dari fitur sorotan di Instagram.

Situasi Palu yang ebrhasil direkam Tria sebelum terjadi gempa dan tsunami

Berawal dari menceritakan kedatangannya di Palu, Tria dan rekan-rekannya yang tiba di Palu pada (28/9/2018) tepat di hari terjadinya gempa yang disusul tsunami, tiba di Hoyel Mercure.

Tria dan kawan-kawannya sampai di hotel sekitar pukul 17.00 WITA.

“Entah kenapa aku pengen bikin story ini karna cerah banget ditambah pemandangan bagus,” begitu tulis Tria saat merekam suasana Palu, sebelum terjadi gempa dahsyat.

Setibanya di hotel, Tria mendengar bahwa sebelum ia dan rekan-rekannya sampai di Palu, sudah ada gempa sekitar empat kali yang melanda Palu.

Tetapi ia tak khawatir, karena informan yang memberikan informasi tersebut mengatakan bahwa potensi gempa susulan disertai tsunami telah dicabut.

Tria kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya untuk bersih-bersih, berganti baju dan kemudian istirahat.

“Seketika kamar kami dan seluruh isi ruangan seperti ga ada gravitasinya dan terbanting semua barang kemana2. Kami berdua (bersama teman satu kamarnya –red) cuma bisa berpelukan, istighfar sambil menangis minta pertolongan,” tulis Tria seolah menceritakan apa yang saat itu menimpanya.

Di tengah kebimbangan situasi yang sangat menakutkan, Tria juga melihat kaca kamar mandi mulai pecah, gelas jatuh berserakan sehingga ia seolah tak mampu berdiri mengangkat tubuhnya sendiri, hingga gempa berhenti sesaat.

Menyadari bahwa gempa telah berhenti, Tria dan teman satu kamarnya, yang bernama Kartika mencoba keluar dari kamar untuk menyelamatkan diri.

Tetapi apa yang terjadi, saat berhasil membuka pintu kamar, Tria dan temannya kaget karena melihat kondisi di luar kamar yang sudah runtuh dan dipenuhi asap putih tebal.

Seolah jadi malaikat, datang pertolongan dari seberang kamar Tria, yang ternyata dua orang bapak-bapak yang juga berusaha menyelamatkan diri.

Tria meminta tolong kedua bapak tadi untuk membimbingnya agar bisa keluar dari hotel. Tria juga sempat melihat seorang ibu-ibu paruh baya di kamar sebelah membutuhkan bantuan.

Kemudian Tria, Kartika, dua bapak dan satu ibu ini mencoba keluar hotel untuk menyelamatkan diri, meski banyak bagian hotel yang runtuh diguncang gempa.

Karena medan yang harus mereka tempuh bisa dibilang kurang aman, seorang bapak kemudian memberi ide untuk keluar melalui jendela, menuju rooftop hotel, yang jaraknya sekitar 6-meter di bawah kamar.

Tria dan juga para korban akhirnya turun menuju rooftop dibantu dengan adanya pipa besi sebagai pijakan.

Sangat berat, Tria menceritakan bahwa ibu yang ditolongnya tadi terlepas dari pegangannya yang mengakibatkan kepalanya bocor.

Tetapi perjuangan mereka terus berlanjut, sampai akhirnya, Kartika memilih untuk lari ke atap genting berbahan seng menuju sebuah pohon untuk turun, sementara itu, Tria masih tak tega meninggalkan seorang ibu yang kepalanya bocor.

Tria mencoba menutup kepala ibu tersebut menggunakan tangannya agar darah tak banyak yang keluar, “bu, tekan lukanya. Saya harus turun sama teman saya”.

Tetapi saat mencoba mengejar Kartika, teriakan seorang bapak membuat Tria kembali ke rooftop bersama rombongannya tanpa Kartika.

“Mbaaaa!!! Balik ke sini!!! Bahaya ada tsunami datang,” teriak bapak yang akhrinya membuat Tria kembali ke rooftop.

Pikiran Tria saat itu sudah sangat berantakan. Sampai-sampai, ia sempat putus asa meski telah ebrdoa.

“Kalo aku meninggal di sini, antara meninggal tertimpa reruntuhan atau aku hanyut tersapu tsunami. Seenggaknya aku sebelum mandi barusan sudah pamit sama Dendy (kekasihnya –red) dan sebelum berangkat terbang sudah pamit sama mamaku,” begitu keputusasaan yang ia luapkan saat itu.

Tsunami kemudian datang, Tria mengaku bahwa sebelumnya ia belum pernah mendengar suara gemuruh gelombang sehebat itu.

Ia merasa sangat takut saat itu, ia takut tak ada yang mengenali jenazahnya, mengingat ponsel Tria yang hanya bisa ia selamatkan saat gempa dititip kepada Kartika dan barang-barang Tria lainnya ditinggal di kamar hotel tempatnya beristirahat.

Sementara itu, Tria masih berada di atas rooftop sembari melihat arus di bawah hotel sampai gelombangnya tenang. Tria bahkan melihat ada jenazah seorang perempuan yang terbawa arus genangan di bawah tempatnya berdiri dan saat itu, Tria merasa bersyukur.

Gempa susulan terus datang dan Tria serta beberapa orang masih berada di rooftop tadi, karena tempat itulah yang menurutnya aman sembari menunggu tim SAR menyelamatkan mereka.

Tsunami susulan dibarengi gempa susulan kembali datang dengan kencang. Di depan Tria bangunan di depan hotel terlihat bergeser ke kanan kemudian ke kiri. Ia tak henti berdoa supaya dijauhkan dari maut.

Sampai akhirnya, Tria berhasil diselamatkan rekannya yang bernama Dian menggunakan tangga untuk memanjat ke daerah yang lebih tinggi lagi.

Sesampainya di tempat yang lebih tinggi, bersama rombongannya, Tria bertemu Cabbin Crew lain, sementara saat itu, Tria sempat dinyatakan hilang.

Baca Juga : Bermodal Linggis, Seorang Ayah Berusaha Cari Anak Gadisnya di Reruntuhan Hotel Roa Roa,

Singkat cerita, Kartika akhirnya bertemu dengan Kartika, teman satu kamar yang baru ia kenal.

“Aku ga pernah serindu ini sama orang yang baru aja aku kenal,” begitu tulisnya saat berhasil bertemu dengan Kartika.

Tria kemudian memberi kabar pada kekasihnya bahwa ia dalam keadaan selamat dan kemudian, Tria, tamu hotel lain juga karyawan hotel yang berhasil selamat dibawa menuju pengungsian yang lebih aman, yaitu di Masjid Agung.

Melihat cerita Tria, yang kemudian membawanya diundang sebagai bintang tamu Mata Najwa cukup menyita perhatian publik.

Tria selamat dari maut. Tapi, ada yang hal menarik yang dari perjuangan Tria serta tamu hotel lainnya untuk menyelamatkan diri.

Bapak yang berada di kamar seberang Tria yang membantu Tria mencari jalan keluar dari hotel rupanya juga menceritakan kisah serupa.

Bapak tersebut menyelamatkan Tria, Kartika juga beberapa orang lainnya lewat inisiatifnya mencari jalan keluar.

Tria dan tamu hotel lainnya di pengungsian sebelum pulang ke Jakarta

Ialah Andika Dutha Bachari, seorang dosen di Universitas Pendidikan Indonesia.

Melalui akun Facebooknya, Andika menceritakan kisah perjuangannya menghadapi maut.

Andika, Dosen UPI yang Membantu Pramugari Selamat dari Maut

Bencana, Kematian, dan Sedekah: Kisah di Palu (Part I)

Sedikit pun tidak terbayangkan sebelumnya bahwa kepergian perdana ke Tanah Celebes akan berbuah bencana dahsyat. Pengalaman mahal dalam hidup itu akan menjadi bagian penting perjalanan hidup. Hikmahnya, banyak.

Namun, yang paling penting, kejadian yang saya alami itu adalah suatu wasilah yang (akan) mengantarkan saya untuk mendekat kepada Allah Swt. Yang Maha Rahman dan Maha Rahim. Allah Swt. telah menunjukkan kasih sayangnya kepada saya langsung. Tanpa kuasanya, tak mungkin saya selamat.

Kisah saya di Palu diawali seperti ini.

Sekitar satu minggu sebelum kejadian bencana gempa dan tsunami datang, yaitu tanggal 21 September 2018, saya dikontak teman-teman dari Universitas Tadulako untuk memberikan Kuliah Umum kepada mahasiswa baru Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di FKIP UNTAD. Saya tak langsung mengiyakan.

Saya minta kepada Kaprodi UNTAD untuk berfikir satu hari karena harus melihat jadwal satu minggu ke depan. Ternyata tak ada jadwal yang tak terlalu penting di akhir pekan pada minggu terakhir September. Pikir saya hanya dua hari saja saya berkegiatan di sana, akhirnya saya mengiyakan tawaran mereka. Tiket pun terbit untuk kepergian saya ke Palu. Dari awal, saya sudah mewanti-wanti panitia agar keberangkatan saya ke Palu dari Husein (Baca: Bandung) saja, jangan dari Soekarno Hatta (Jakarta).

Tiket dikirim melalui email saya dengan Rute dari Bandung Pukul 14.00 menuju Surabaya. Di Surabaya saya transit sekitar 3 jam. Sekitar Pukul 19.00 saya take off menuju Balikpapan.

Perjalanan menuju Balik Papan, dilalui sekitar 2 jam. Sampai Balikpapan pukul 22.00 Wita. Di Balikpapan tidak transit, kami langsung digiring menuju pesawat yang sudah bersiap menuju Palu. Saya tiba di Palu, Pukul 23.00. Kemudian, dijemput oleh jajaran pimpinan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Tadulako.

Sebelum didrop ke Hotel Mercure tempat saya menginap, saya diajak santap malam terlebih dahulu. Satu ekor etong, saya habiskan. Lahap sekali. Kebetulan, siangnya saya berpuasa karena hari itu kebetulan Kamis. Dan, pada saat berbuka saya hanya meminum sebotol air mineral. Selesai makan saya didrop ke Hotel Mercure tempat saya menginap. 

Ketika di hotel, waktu sudah menunjukkan pukul 01.00. Kebetulan, di hotel itu, saya bertemu dengan Anggota Densus 88/AT yang sedang bertugas ke Poso. Saya mengenal anggota itu sebagai mantan ajudan Wakapolda Jabar, Irjen Pol. Dr. Rycko Amelza Dahniel, yang sekarang menjabat sebagai Gubernur Akpol. Kami akhirnya berbincang-bincang di kamar 322 tempat saya menginap. Sampai jam 02.30 kami berbincang, kawan saya yang anggota densus itu mohon pamit karena dia harus terbang di bandara pada pukul 07.00 Wita menuju Jakarta. Setelah dia pergi keluar kamar, saya beres-beres bawaan saya dan membersihkan badan untuk bergegas tidur.

Pukul 08.10 Wita telepon kamar saya berdering. Petugas FO mengabari saya bahwa di lobby ada utusan dari UNTAD yang sudah menunggu saya untuk menjemput. Saya segera mandi, dan berganti pakaian.

Sepuluh menit kemudian saya sudah ada di bawah, dan saya bertemu dengan penjemput saya. Beliau adalah Dr. Afrizal, mantan Dekan FKIP UNTAD. Perjalanan dari hotel menuju kampus ditempuh dalam waktu 30 menit. Sekitar pukul 08.50 Wita saya sudah ada di tempat acara, amphi theater UNTAD.

Singkat cerita, saya mulai in line. Saya diberi waktu dua jam untuk menyampaikan kuliah umum di hadapan Mahasiswa Baru Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNTAD berikut dosen-dosennya. Sambutan terhadap saya cukup riuh, materi yang saya sampaikan sepertinya beririsan dengan kepentingan mahasiswa baru. Kuliah selesai pukul 11.00 WITA.

Saya langsung diajak makan. Makanan yang disantap siang itu cukup lezat, Kaledo namanya. Saya tak sholat Jumat karena saya sedang dalam perjalanan, pikir saya begitu. Saya memutuskan untuk shalat dzuhur saja. Selesai makan, sekitar pukul 12.45. Saya lalu diantar oleh salah seorang dosen FKIP UNTAD yang berasal dari Bali.

Di tengah perjalanan, saya minta beliau untuk singgah di waralaba. Saya perlu membeli rokok, dan beberapa makanan kecil. Saya disinggahkan di Alfa Midi. Lalu saya membeli sebungkus rokok dan dua botol You-C.

Selepas keluar dari Pintu alfamidi yang saya dorong, di hadapan saya ada seorang Nenek Tua yang meminta sedekah. Reflek uang kembalian belanja di Alfa Midi saya serahkan seluruhnya, jumlahnya sekitar 74 Ribu (Saya yakin, sedekah ini juga yang menyelamatkan saya).

Sampai di kamar hotel pukul 13.30 Wita. Saya naik ke lantai 3 tempat kamar saya berada di kamar 322. Saya langsung shalat dzuhur begitu sampai di kamar. Setelah itu saya tidur karena rencananya saya akan dijemput teman-teman FKIP UNTAD Pukul 18.00.

Pukul 16.00 saya terbangun. Saya bergegas mengambil air wudlu dan menegakkan shalat Ashar. Pukul 16.30 saya turun ke bawah, perut saya lapar ingin makan dan saya mau mencetak tiket kepulangan ke Bandung. Sebab, pada pertemuan malam (ketika saya rencananya mau dijemput teman-teman FKIP UNTAD) SPPD dan boarding pass akan saya serahkan.

Saya turun ke bawah dengan celana pendek hitam dan kaos hitam. Dompet dan HP ada di celana. Selepas makan, saya berhasil mencetak tiket pulang di document corner Hotel Mercure tempat saya menginap.

Saya kemudian naik ke atas untuk masuk ke kamar. Rencananya saya mau mandi karena akan dijemput Pukul 18.00. Sampai di kamar, saya rebahan sambil memainkan gadget untuk menyapa kawan-kawan di Bandung. Entah mengapa saya begitu malas untuk mandi, dan memilih bermalas-malasan di atas kasur. Padahal, cuaca Palu sangat panas.

Beberapa kawan in line berkomunikasi dengan saya melalui WA, termasuk beberapa rekan dari Mabes Polri yang sedang berkonsultasi atas beberapa perkara yang sedang mereka tangani.

Pukul 18.02 Wita tiba-tiba saja kamar bergoncang hebat. Guncangannya sangat dahsyat. Kamar mandi di kamar saya hancur, kaca pecah. Atap dinding kamar roboh. Saya tetap tenang berdiri di pojok kamar karena saya lihat itu adalah tulang beton yang kemungkinan ambrolnya kecil, paling patah.

Saya diam sambil bertakbir, membacakan shalawat nariyah. Bayangan saya sudah gelap. Hari itu saya pasti mati. Goncangan cukup lama, sekitar 4 menit. Setelah reda, saya berusaha keluar kamar. Pintu kamar harus saya tarik dengan susah payah, karena terhalangi material reruntuhan kamar atas yang ambrol ke bawah. Setelah pintu kamar berhasil saya buka, Astagfirullah lorong hotel sudah ambruk. Plafon sudah berserakan menutupi lorong. Debu sangat tebal di lorong hotel itu. Saya berusaha melewati lorong-lorong hotel.

Baca Juga : Ibunya Meninggal Dunia, Bocah Laki-laki Ajukan Permintaan pada Jokowi: Pak, Ikut Boleh Tidak?

Tiba-tiba saya bertemu dengan dua orang pramugari lion dan salah seorang pegawai hotel yang berusaha mendobrak emergency exit. Saya dekati mereka. Lalu saya katakana jangan dipaksakan. Insting saya berkata bahwa saya jangan masuk ke emergency exit. Sebab lantai 1 dan 2 sudah amblas. Kita bisa terjebak nanti. Saya pimpin mereka untuk berjalan menyusuri lorong-lorong hotel, arah kiri lift.

Setelah berjalan 50 meter saya melihat ada kamar terbuka dan di balik jendela kamar itu saya melihat ada orang yang melambai-lambaikan tangannya. Tanpa pikir panjang saya masuk ke kamar itu, lalu saya ambil kursi dan saya pecahkan kaca jendela kamar itu. Setelah kaca jendela pecah saya loncat dari kamar yang terletak di lantai 3 itu.

Saya selamat sampai di bawah, tanpa luka sedikit pun. Kemudian pegawai hotel yang loncat kedua. Saya bantu menyanggap dia di bawah, kemudian gilran crew lion yang loncat. Saya dan petugas hotel menyanggap keduanya dari bawah.

Ternyata saya berada di di atas roof top bagian belakang hotel. Di sana sudah banyak tamu yang selamat, tapi kebanyakan para karyawan. Bahkan GM hotel tersebut dan anak owner hotel tersebut ada bersama kami. Kami berkumpul di sana. Baru saja dua menit berkumpul di sana, tiba-tiba sunami datang. Kurang lebih sunami itu 5-7 meter tingginya.

Kami berlomba naik ke atas bangunan tempat menyimpan genset. Air masih menggulung. Saya naik paling akhir ke atas bangunan tempat menyimpan genset tersebut. Kondisi chaos. Saya shalat di atas bangunan itu, bersama beberapa korban muslim lainnya. Air menggenang di bawah kurang lebih 3 meter tingginnya. Saya khawatir air itu cepat surut karena kalau surut cepat itu petanda akan ada gelombang sunami yang lebih tinggi.

Di atas bangunan genset beberapa orang terluka, ada yang robek kakinya seperti yang dialami Captain Martin Pilot Lion , ada yang bengkak tangan dan kakinya seperti Mbak Tria yang Pramugari Garuda, dan ada juga yang bocor kepalanya seperti yang dialami Pilot Garuda serta Asisten 2 Walikota Makasar yang sedang mewakili Walikota di acara itu. Namun, umumnya, semua mengalami shock yang hebat.

Kebetulan di antara korban yang selamat ada salah seorang peserta Paralayang (Pak Rahmat) yang membawa alat komunikasi Radio dan seorang lagi pelanggan fitness gym hotel mercure yang membawa HP berkartu XL. Saat itu, hanya kartu XL yang bisa digunakan.

Secara bergantian, kami menghubungi keluarga untuk mengabarkan bahwa kami selamat namun masih dalam ancaman bahaya. Saya pun berhasil menghubungi keluarga saya dan mengabari bahwa kondisi saya selamat.

Air surut kira-kira pukul 22.00 Wita, dan goncangan gempa susulan tidak begitu sering lagi frekuensinya, hanya 2-3 kali dalam 1 jam. Atas komando petugas hotel kami turun ke bawah setelah bertahan di atas bangunan genset.

Kami turun ke bawah dengan menggunakan rak piring hotel yang difungsikan sebagai tangga darurat. Ada 34 orang yang selamat di hotel itu, dari 115 kamar yang terisi penuh hanya 19 kamar saja yang belum terisi tamu.

Ketika berhasil turun ke bawah, beberapa mayit sudah tergeletak di jalan. Petugas hotel berinisiatif menutupinya dengan seprai hotel. Kira-kira pukul 01.00 WITA dini hari, kami dievakuasi ke Masjid Agung.

Di sana sudah banyak pengungsi. Saya dan tamu mercure lainnya bermalam di pelataran Masjid Agung. Kami tidur di atas paving block dalam keadaan gelap gulipa karena tak ada lagi listrik, dan alat komunikasi tak berfungsi. Kami menginap termasuk dengan owner dan anaknya di Masjid Agung.

Ada dua bagian yang diceritakan Andika tentang bagaimana perjuangannya sampai akhirnya ia selamat dan akhirnya Andika bisa pulang ke Bandung setelah menempuh perjalanan yang cukup lama dan cukup berat.

Baca Juga : Dua Hari Terjebak Reruntuhan Hotel Roa Roa, Seorang Perempuan Berhasil Selamat, Ini Sebabnya!

Kisah Andika yang kemudian ditulis dan juga dikutip ulang oleh Nakita.id, ditulis berdasarkan persetujuan dari pihak yang bersangkutan.

Dua kisah yang berbeda dari Tria juga Andika ini sekali lagi menceritakan bagaimana jerih payah para korban untuk selamat dari maut.

Juga karena adanya pertolongan satu sama lain yang membuat banyak korban juga selamat dari maut.

Tria dan Andika hanyalah dua dari ribuan kisah korban selamat yang akhirnya kembali bisa bertemu keluarganya.

Kini, Tria sudah berada di Jakarta dan sudah bersiap untuk menunaikan tugasnya sebagai seorang pramugari, sementara Andika juga sudah tiba di Bandung dan kembali siap mengemban tugas sebagai seorang dosen.

Selamat bertugas kembali, semoga kisah mereka dapat menginspirasi banyak orang, tentang perjuangan hidup dan tentang kehendak Tuhan.