Nakita.id – Setiap orang, apalagi keluarga pasti ingin bahagia dengan cara apa pun yang bisa mereka lakukan.
Sayangnya, banyak orang mengira bahwa bahagia hanya bisa dimiiki mereka yang memiliki banyak uang dan kaya raya.
Ya! Memang orang kaya terlihat lebih bahagia. Mereka bisa membeli apa pun yang mungkin tak semua orang bisa beli.
Di rumahnya, terdapat fasilitas lengkap untuk menunjang kebahagiaannya. Membeli baju sehari sekalipun ia lakoni tanpa harus berpikir panjang.
Mereka juga memiliki mobil mewah dan tabungan melimpah, tak lupa asuransi yang cukup untuk menutup hari tuanya.
Sementara itu, di belahan bumi lain, ada keluarga yang harus menabung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk dapat membeli mobil.
Mereka juga tak bisa membeli baju seminggu sekali, atau bahkan sehari sekali, karena masih banyak kebutuhan yang harus mereka penuhi.
Baca Juga : Mengapa Tak Semua Orang Bisa Jadi Kaya Raya Meski Sudah Berusaha?
Hidup orang yang tak punya banyak uang itu cenderung dilihat lebih menyusahkan. Belum lagi berapa hutang dan tagihan yang menanti setiap waktunya.
Tetapi, apakah benar pandangan bahwa bahagia hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang memiliki banyak uang?
Melansir dari Kompas.com, sebuah lembaga internasional mengeluarkan persepsi kebahagiaan dengan ukuran tertentu dilihat dari rakyat di suatu negara.
Menurut lembaga tersebut, negara yang selama ini dianggap sebagai negara maju dan makmur ternyata tidak berbanding lurus dengan tingkat kebahagiaan rakyatnya.
Malah negara-negara yang berada di Amerika Latin dan Karibia, seperti Panama, Paraguay, El Salvador, Venezuela, berada di peringkat atas sebagai negara yang rakyatnya bahagia.
Indonesia berada di peringkat ke-19 dari 148 negara yang disurvei.
Sementara negara-negara maju, seperti Jerman dan Perancis, berada di peringkat ke-47.
Adapun dua negara Asia, seperti Thailand dan Filipina, berada di peringkat ke-6 dan ke-9.
Yang unik adalah Singapura, malah ada di peringkat ke-148, sejajar dengan negara-negara seperti Irak, Serbia, dan Armenia.
Apa makna hasil survei persepsi tentang kebahagiaan itu? Negara kaya belum tentu menciptakan rasa bahagia bagi rakyatnya.
Memang, ada pihak yang mengkritik survei itu dengan mengatakan bahwa aspek budaya tidak bisa dicampuradukkan dengan perekonomian.
Namun, apa pun kritik itu, yang jelas, masyarakat memiliki persepsi bahwa kekayaan finansial tidak selalu bermuara pada rasa bahagia.
Hal itu juga terlihat dari persepsi responden di Indonesia, di mana rakyat Indonesia yang disurvei memperlihatkan ada rasa bahagia meski di Indonesia saat ini masih cukup banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan.
Baca Juga : Dads atau Moms Gajinya Pas-pasan? Coba Peluang Usaha Sampingan Ini!
Semua orang berharap dapat mencukupi kebutuhan finansialnya. Namun, dalam realitasnya, tak sedikit yang menjadikan kemapanan finansial sebagai tujuan akhir dari kehidupan.
Padahal, kemapanan finansial adalah jembatan untuk mencapai tujuan hidup, yakni kebahagiaan.
Kalangan modern menjadikan perjalanan hidupnya berbasis rencana.
Termasuk dalam hal ini adalah rencana finansial, misalnya memiliki rumah yang bagus, memiliki tabungan besar, dan sebagainya.
Untuk mencapai tujuan finansial itu, banyak cara dilakukan. Bisa dengan cara menabung, menyisihkan pendapatan untuk disimpan, dan juga melakukan investasi.
Namun, pertanyaannya, bagaimana kita menjalani proses untuk mencapai tujuan keuangan tersebut?
Apakah kita menjalaninya dengan bahagia atau malah membuat tertekan?
Sejatinya, perjalanan mencapai tujuan finansial dibarengi juga dengan rasa senang dan rasa bahagia. Bukan sebaliknya. Bagaimana caranya?
Pertama, ubah kembali mind set, bahwa tujuan kemapanan finansial bukanlah tujuan akhir, melainkan tujuan antara untuk mencapai mendapatkan kebahagiaan.
Ini berarti ukuran kebahagiaan mesti di-review ulang. Jika selama ini merasa bahagia ketika bisa membeli rumah besar, mungkin prinsip seperti itu mesti dikaji kembali.
Sebab, dari sisi logika, rumah yang tersebar di mana-mana toh tidak bisa dinikmati.
Hanya bisa dicatat dan lihat dalam pembukuan aset bahwa kita memiliki beberapa rumah.
Konkretnya, jika mengacu pada survei yang dilakukan sebagaimana dipaparkan di atas, sebagian persepsi masyarakat tentang kebahagiaan bukanlah pada seberapa besar aset yang dimiliki, melainkan seberapa besar rasa bahagia memiliki aset tersebut.
Itu berarti aset dimaksud bisa dinikmati, bukan sekadar dimiliki.
Kedua, menjadikan proses mencapai tujuan keuangan sebagai hal yang menyenangkan.
Pernahkah direnungkan, apakah ketika kita bekerja mencari uang sebagai pendapatan, kita merasa bahagia atau tertekan?
Atau selalu merasa kurang terus berapa pun besarnya penghasilan yang diraih?
Jujur saja, banyak orang yang terjebak dalam ”kesulitan finansial” lebih karena pikiran dan perasaan.
Sekali lagi, untuk mendapatkan situasi senang ketika menjalani proses mencapai tujuan keuangan, sebenarnya yang paling mendasar adalah mengubah paradigma, bahwa apa pun yang dilakukan untuk meraih tujuan finansial mesti dilakukan dengan senang.
Jadi, kuncinya ada pada pemikiran kita masing-masing.
Ketiga, memilih kegiatan finansial, khususnya investasi yang berbasis pada karakteristik pribadi.
Banyak contoh orang stres karena urusan utang ataupun tertekan karena gagal berinvestasi.
Kenapa demikian? Karena melakukan proses keuangan dan investasi dengan cara keliru. Kita tergolong orang yang karakteristiknya risk avoider.
Tipikal khawatir secara terus-menerus. Atau ada juga yang malah masuk golongan paranoid.
Namun, ingin berinvestasi di pasar modal, khususnya saham.
Punya Banyak Uang Tapi Keluarga Tak Bahagia
Fakta punya banyak uang tapi keluarga tak bahagia pasti sering terdengar.
Hal tersebut merupakan fakta yang ada di lapangan yang juga telah diteliti oleh berbagai studi kasus.
Justru seseorang yang memilih menghabiskan banyak waktu dengan keluarga dan melakukan hobi jauh lebih bahagia, meski mereka tak mendapat gaji yang banyak.
Menghabiskan waktu untuk sesuatu yang lebih berarti bagi kehidupan, baik dengan keluarga atau kerabat untuk berolahraga, bersenang-senang, dan liburan, bisa mengarahkan seseorang ke perasaan yang lebih memuaskan dari kekayaan.
“Jika seseorang ingin lebih fokus untuk memiliki lebih banyak waktu, maka mereka harus bekerja lebih sebentar, bahkan ini berlaku untuk orang dari tingkat pendapatan yang berbeda-beda dan seluruh jenis kelamin,” saran peneliti.
Peneliti utama Ashley Whillans, seorang psikolog di University of British Columbia melakukan enam studi yang melibatkan 4.600 peserta termasuk survei nasional yang melibatkan mahasiswa dan pengunjung di museum ilmu pengetahuan di Vancouver.
Responden diminta menjawab pertanyaan tentang kehidupan sehari-hari, seperti pertanyaan ‘Apakah Anda akan lebih bahagia saat bekerja seharian, namun memiliki gaji yang lebih tinggi atau hanya bekerja sebentar namun dengan gaji yang lebih rendah?’
Peneliti menemukan, orang yang lebih memprioritaskan waktu di atas uang dilaporkan mengalami kebahagiaan yang lebih besar.
Baca Juga : Tak Selalu Jadi Bahagia, Ini Kisah Orangtua yang Menyesal Punya Anak
Pandangan bahwa seseorang tidak bisa membeli kebahagiaan, tampaknya memang benar.
Namun peneliti mengatakan, penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk menyelidiki apakah kebahagiaan dari memprioritaskan waktu ketimbang uang muncul setelah kebutuhan keuangan seseorang terpenuhi, atau ini berlaku untuk semua kondisi ekonomi.
Cara Bahagia Meski Tak Punya Uang
Bila boleh meminjam lirik lagu Koes Plus, “Hati senang walaupun tak punya uang,” sepertinya sangat tepat!
Orang-orang tetap bisa bahagia meski tidak memiliki uang.
Lalu bagaimana caranya?
1. Lakukan hal seru dengan teman
Berpikirlah kreatif dalam menghabiskan akhir pekan tanpa mengeluarkan banyak uang.
Piknik di taman, jalan-jalan di museum, atau pertunjukan musik gratis, bisa menjadi seru asalkan bisa menikmatinya bersama sahabat-sahabat tercinta.
Jangan malu mencari undangan atau free entrance untuk sebuah acara karena kita harus menyesuaikan anggaran yang makin menyusut.
2. Bersyukur dengan rezeki yang ada meski tidak banyak
Kantong kosong memang menyebalkan, tak ada yang lebih tepat untuk menghadapinya kecuali dengan mengeluh.
Hati-hati, mengeluh dengan kondisi sekarang tidak akan memperbaiki apa pun.
Jadi, lebih baik kita bersyukur dan membuat rencana untuk meraih kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Baca Juga : Biaya Nikah, Keintiman, dan Terkekang Jadi Sumber Masalah Pernikahan yang Tak Selalu Membawa Kebahagiaan
3. Jangan stres karena tagihan
Pengeluaran sedang tidak terkendali, tetapi tagihan dan cicilan tidak mau memahami apa pun kondisi kita. Jangan stres dan marah-marah. Hadapi saja.
Sebab, bulan depan tagihan itu tetap ada dan menuntut pembayaran dari kita.
Aturlah keuangan di bulan depan dengan cermat.
Jangan ulangi kesalahan di bulan ini yang membuat pergerakan terbatas karena uang menipis.
4. Bulan depan pasti lebih baik
Kondisi finansial yang serba ketat ini, tanamkan di hati hanya terjadi saat ini, bangun semangat untuk bekerja lebih keras agar mendapatkan penghasilan lebih banyak.
Jika pekerjaan yang sekarang dijalani tidak memberikan penghasilan mencukupi, maka ini berarti saatnya mencari kesempatan di perusahaan lain. Segeralah sebar surat lamaran.
5. Kelilingi diri kita dengan orang-orang positif
Krisis finansial bisa mengonsumsi seluruh beban pikiran, jika terlalu dalam dipikirkan, kita bisa frustrasi.
Oleh karena itu, pilihlah teman dan orang-orang terdekat yang memiliki kepribadian positif serta membangun rasa percaya diri.
Wapres Gibran Minta Sistem PPDB Zonasi Dihapuskan, Mendikdasmen Beri Jawaban 'Bulan Februari'
Source | : | Kompas.com,Familyshare,Bussines Insider |
Penulis | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
Editor | : | David Togatorop |
KOMENTAR