Nakita.id - Kita hidup dalam sebuah masyarakat yang memberi label untuk segala hal.
Label dengan mudah ditemukan di mana-mana, pada pakaian, burger keju, daging dan semua produk kami, dan daftarnya terus berlanjut.
Kami menyukai kata-kata yang baik yang dikemas dengan rapi sehingga kami dapat mengidentikkan orang, tempat atau benda dan tahu apa yang diharapkan.
Label pada produk dan tempat itu memang memudahkan dan wajar dilakukan.
Tapi, berhati-hatilah saat hendak melabel anak.
Baca Juga : I Am an ActiFE Mom, In Control, and Protected
Sebab, label yang baik dan dinilai wajar pun dapat memainkan peran yang menetap pada harga diri, konsep diri, bahkan kepribadian anak dalam jangka panjang.
Ingatlah, anak-anak mengembangkan dan mendefinisikan konsep diri mereka dengan memproses apa yang orang lain katakan tentang siapa mereka, apa yang mereka lakukan, bagaimana mereka bersikap dan sebagainya.
Prinsip komunikasi "Looking-Glass Self" dari Charles Cooley bisa menjadi acuan.
Cooley percaya bahwa dengan mencerminkan kembali kepada kita siapa kita, dengan kata lain orang lain berfungsi sebagai cermin bagi kita.
Bila orang lain mengatakan kita buruk, maka konsep diri kita pun akan jatuh.
Demikian pula sebaliknya.
Baca Juga : #LovingNotLabelling: Berhenti Menasihati Anak dengan Hukuman Fisik, Coba Pakai Cara Ini Moms
Bayangkan dampaknya bagi anak-anak, ketika kita 'merenungkan' siapa mereka.
Setiap kali seorang guru mengatakan dia adalah "murid yang baik" atau pelatih mengatakan "pemain biasa", yang membantu menentukan cara anak memandang dirinya.
Apa yang akan mereka rasakan?
Untuk itu, berhati-hatilah saat hendak berkata-kata, pikirkan label yang Moms keluarkan akan dapat menghancurkan konsep diri anak, tidak hanya untuk hari ini, tapi bahkan untuk masa depannya kelak.
Tapi, kadang kehidupan tak seindah yang dibayangkan.
Kita tidak bisa berharap anak duduk manis, diam, menurut, dan mau mengikuti apa yang kita mau dan menjauhi apa yang kita larang.
Anak ya anak-anak itu sendiri dengan serangkaian perilaku nakalnya, agresifnya, sikap melawannya, dan perilaku lain yang membuatnya harus didisiplinkan.
Selalu membiarkan anak melakukan apa yang dia mau merupakan perilaku yang sangat tidak bijak karena dapat memicu perilaku negatif di kemudian hari.
Anak boleh jadi menjadi pribadi egois, mau menang sendiri, dan bahkan bisa menjadi sosok yang sulit diatur.
Baca Juga : #LovingNotLabelling: Jangan Sepelekan Melabeli Anak, Dampaknya Bisa Sampai Dewasa
Untuk itu, orangtua perlu berdamai dengan anak, mendisiplinkan tanpa perlu menyakiti dengan label tak perlu.
Berikut langkah yang dapat orangtua lakukan saat anak mengulang kesalahan yang sama, berperilaku kasar, dan perilaku negatif lainnya:
1. Ambil napas panjang agar Moms sedikit relaks dan lebih dapat mengendalikan diri. Setelah itu, Moms bisa menyusun kata-kata terbaik untuk anak.
2. Bila sudah tak tahan sekali, cobalah minta pasangan atau sosok lain di rumah untuk menggantikan mengendalikan perilaku anak, misal suami.
3. Berikan penjelasan perilaku negatif anak secara spesifik. Daripada melabel, "Kamu anak nakal." Lebih baik katakan, "Kalau kamu bermain di ruang tamu, sofa akan basah dan rusak, kamu berisiko terjatuh, dan ruangan menjadi sulit dibersihkan."
4. Kalau memungkinkan, berikan aktivitas alternatif. Daripada marah-marah dan melabel anak saat bermain air di ruang tamu, minta ia melakukan aktivitas itu di kamar mandi.
5. Bantu anak menyelesaikan permasalahannya. Saat anak tak mau bergabung dengan teman-teman barunya, jangan label dia "anak pemalu", tapi bantu ia bersosialisasi dengan teman-temannya.
Demikian ya Moms selamat mencoba!
Perempuan Inovasi 2024 Demo Day, Dorong Perempuan Aktif dalam Kegiatan Ekonomi Digital dan Industri Teknologi
Source | : | https://thekidcounselor.com |
Penulis | : | Saeful Imam |
Editor | : | Saeful Imam |
KOMENTAR