Nakita.id - Depresi setelah melahirkan alias post partum depression bisa saja terjadi pada ibu setelah persalinan.
Sehabis melahirkan ibu akan dilanda perasaan sedih dan murung.
Jika sikap negatif ibu akibat depresi pascamelahirkan terus berlangsung, akan membekas pada bayi hingga ia besar.
Salah satu penyebabnya, kelahiran menuntut ibu menyesuaikan diri pada situasi baru.
Ia harus memulihkan kondisi dan bentuk fisiknya, sementara ia juga harus mengurus anaknya, serta harus tetap mengurus pekerjaan rumah tangga.
Ini semua akan menyita pikiran dan energinya, hingga dapat memicu emosi dan stres si ibu.
Manifestasinya, ia merasa lelah dan tak bugar terus-menerus, perasaannya jadi tak menentu, tanpa sebab yang jelas tiba-tiba saja ia marah, kesal, sedih, murung, dan ingin menangis terus.
Tentunya, kondisi ini akan mempengaruhi sikap dan tindakan ibu terhadap bayinya.
Ibu yang tak siap mental tidak akan antusias/hangat dalam menghadapi bayinya. Jangankan untuk menstimulasi bayinya dengan mengajaknya bicara, bermain, atau bercanda, interaksi antara dirinya dengan si bayi pun amat jarang.
Kendati bisa juga sebaliknya, yaitu justru jadi memperhatikan si bayi secara berlebihan.
Jadi, meski si ibu dalam keadaan tak senang, tapi karena lingkungan selalu mengatakan, ibu yang baik harus mengurus anaknya, maka untuk memenuhi tuntutan tersebut, ia malah berlebihan dalam memperhatikan si bayi atau bahkan justru terlalu mengkhawatirkannya.
Baca Juga: Penyebab Mood Swings Saat Hamil dan Cara Terbaik Mengatasinya
Bila perlakuan tak menyenangkan terus-menerus diterima anak, ia akan tumbuh jadi anak yang sulit diatur.
Ia akan menjadi rewel, minta terus diperhatikan, pemurung, pendiam, dan tak aktif.
Bahkan, bisa jadi berat badannya tak naik-naik, tak nafsu makan, dan sering sakit-sakitan.
Kelekatan emosinya pun tak baik, yang akan tampak jelas di usia 8-9 bulan, yaitu ia jadi tak peduli bila melihat ibu pulang dari kantor, walau sebenarnya ia juga rindu.
Di usia selanjutnya, bila anak merasa tetap tak dipedulikan dan dicintai, ia pun akan sulit mencintai orang lain, tak acuh, dan sosialisasinya tak berkembang dengan baik.
Sementara bila ibu terlalu berlebihan perhatiannya/kekhawatirannya, anak jadi sangat tergantung.
Kala bayi, ia akan merasa tak aman bila tak melihat ibunya.
Kalau sudah ketemu, ia tak mau lepas dari ibunya.
Di usia selanjutnya, ia akan tumbuh jadi anak manja, tak mandiri, banyak menuntut atau egois.
Bila hal ini didiamkan terus, ia jadi tak pernah tahu mana yang baik dan tidak, hingga seakan tak ada panduan.
Baca Juga: Masalah Psikologis yang Rentan Dialami Ibu Hamil dan Cara Mengatasinya
Namun demikian, sikap negatif ataupun salah memperlakukan anak, asalkan berlangsung tak terus-menerus, dampaknya tak perlu terlalu dikhawatirkan.
Anak jarang yang ingat kejadian di masa bayi, kecuali diceritakan lingkungannya.
Lain hal jika pengalaman tak menyenangkan itu dialaminya terus-menerus dan dalam jangka waktu lama hingga terakumulasi, bisa jadi akan membuatnya trauma.
Nah, agar pengalaman buruk di masa kecil tak membekas, ibu harus mengubah sikap dan perilakunya yang negatif itu.
Ibu harus berusaha mengatasi emosinya.
Mintalah bantuan pasangan atau keluarga.
Biasanya, bila ada yang menemani, ibu takkan merasa terlalu berat dalam menghadapi tugas-tugas barunya.
Itu sebab, suami dituntut pengertiannya.
Bila istri yang baru melahirkan ini dalam keadaan sedih dan murung, sebaiknya suami menerima dan memahaminya, selain ikut melibatkan diri membantu mengurus si bayi dan men-support istri untuk melakukan kegiatan yang menyenangkannya.
Depresi pascapersalinan akan mengganggu kemampuan ibu untuk merawat bayinya dan bahkan dalam menyelesaikan tugas sehari-hari.
Kalau sudah begitu, perlu dicari bantuan profesional, berkonsultasi dengan dokter atau psikolog. (Sumber: Tabloid Nakita)
Bobo Fun Fair dan Jelajah Kuliner Bintang Jadi Ajang Nostalgia di Uptown Mall BSBCity Semarang
Source | : | Tabloid Nakita |
Penulis | : | David Togatorop |
Editor | : | David Togatorop |
KOMENTAR