"Dengan situasi seperti ini, kondisi emosi seperti ini, aku kayaknya enggak bisa optimal nanti bekerjanya. Kita kenali dampaknya apa sih," ujar Fabiola.
"Kalau kita terus gitu ya, kalau terhanyut dengan emosi, kemudian kita namakan nih. Kadang-kadang kita salah (memberikan) nama (untuk emosi) lo. Kita marah padahal sebenarnya kita lagi sedih," lanjutnya.
Untuk itu, Fabiola menyarankan untuk mengenal dengan betul emosi yang sedang dirasakan saat itu.
"Nah, ketika kita sudah memberikan nama dengan tepat, baru kita bisa milih tuh, 'Oh kayaknya saya lagi sedih'. Nah, masing-masing orang punya cara menyalurkan emosi yang beda-beda," ungkapnya.
Fabiola sendiri lebih senang menyalurkan emosinya lewat gambar yang dibagikan melalui akun Instagram miliknya.
"Ada beberapa gambar yang aku share di akun aku yang menggambarkan betapa perjuangan seorang ibu dalam menghadapi remaja yang luar biasa itu. Kadang aku enggak bisa sampaikan ke anak, karena situasi dan kondisi belum memungkinkan," ceritanya.
"Aku sampaikan atau salurkan lewat gambar. Setelah emosiku terkuras di gambar itu, aku lebih baik dan aku bisa memiliki pandangan yang positif," lanjutnya.
Positif di sini berarti bukan selalu senyum, tetapi selalu bahagia dan mampu untuk menghadapi tantangan yang ada di hadapannya dengan penuh semangat.
"Setelah sampai di situ, baru aku bisa regulasi. Jadi, regulasi itu sebenarnya ujungnya dan bukan awalnya. Kalau tadi tahapan-tahapan tersebut sudah lewat semua, baru aku lebih mudah untuk meregulasi, untuk menetapkan bahwa aku mau bekerja nih," kata Fabiola.
"Makanya psikolog-psikolog itu dimana pun berada itu pasti akan melewati momen-momen yang harus berdamai dulu gitu sebelum masuk ke dalam ruang praktek," tutupnya.
Untuk anak-anak, Fabiola berharap agar anak-anak Indonesia senang belajar tanpa adanya paksaan ataupun suruhan orangtuanya.
Baca Juga: Kenali Pola Asuh Otoriter dalam Menciptakan Pembelajaran Efektif, Termasuk Dampaknya ke Anak
"Aku harap, mereka itu bisa belajar dengan senang, bisa happy belajarnya," kata Fabiola.
Psikolog anak ini bahkan salut dengan langkah Kementerian Pendidikan membuat Kurikulum Merdeka, dimana anak-anak bebas memilih pelajaran yang disukainya.
"Misalnya, anak aku kan senang banget dengan (pelajaran) sosial. Tapi, kaya ibunya juga mungkin suka dengan hal-hal yang sifatnya lebih ke alam gitu, seperti biologi," ungkapnya.
Sementara untuk orangtua, Fabiola berharap gar tidak ada lagi yang memaksakan anaknya masuk ke jurusan tertentu.
"Misalnya, dulu (orangtua) mau jadi dokter. Tapi karena enggak bisa, jadi anaknya yang harus jadi dokter. Itu sedih banget sih kalau sampai anak itu tidak berada di pekerjaan atau jalur yang tidak sesuai dengan passion-nya," sebutnya.
Apalagi, lanjutnya lagi, di zaman sekarang sudah banyak pekerjaan yang sangat spesifik dan unik sehingga memberikan manfaat yang luar biasa.
"Jadi buat orangtua, harapanku adalah memberikan opportunity (kesempatan), fasilitas pastinya, sarana prasarana yang memungkinkan, enggak perlu memaksakan juga. Karena aku percaya banget, Allah tuh menitipkan anak lengkap dengan rezekinya," ungkap Fabiola.
"Artinya, kalau anaknya mau jadi A, insyaAllah sudah disiapkan (jalannya). Tinggal bagaimana orangtuanya ini cukup positif, cukup semangat supaya anak-anak bisa berkembang sesuai dengan panggilannya," tutupnya.
Baca Juga: Peran Penting Orangtua dalam Menciptakan Pembelajaran yang Efektif dan Menyenangkan pada Anak
Social Bella 2024, Dorong Inovasi dan Transformasi Strategis Industri Kecantikan Indonesia
Penulis | : | Shannon Leonette |
Editor | : | Kirana Riyantika |
KOMENTAR