Nakita.id - Setiap orangtua tentu menginginkan anaknya bisa tumbuh kembang secara optimal.
Agar tumbuh kembang anak berjalan optimal, orangtua perlu memberikan dukungan dalam berbagai bentuk.
Diantaranya seperti pola penerapan pola pengasuhan yang baik hingga memberikan pendidikan sesuai usianya.
Apalagi, pendidikan menjadi salah satu faktor terpenting bagi anak untuk masa depannya yang cemerlang.
Sebagai psikolog anak, Fabiola Priscilla, M.Psi kerap menyuarakan di akun Instagram @fabiola.priscilla terkait pentingnya pendidikan untuk anak.
Pastinya Moms dan Dads di sini penasaran kan apa yang membuat psikolog anak ini terdorong melakukan hal tersebut, juga apa saja tantangan yang dihadapinya.
Tanpa berlama-lama, langsung saja simak perjalanan Fabiola Priscilla, M.Psi menjadi psikolog anak, pandangannya terhadap pendidikan untuk anak, hingga tantangan yang dihadapinya berikut ini.
Awal mula Fabiola menjadi psikolog anak itu dimulai dari masa kuliah S1 di Universitas Atma Jaya, Semanggi, Jakarta.
"Pada saat itu, ada mata kuliah psikopatologi anak, dimana kita belajar mengenai anak-anak berkebutuhan khusus," cerita Fabiola saat ditanyai Nakita, Rabu (31/5/2023).
"Saat memahami atau mempelajari tentang anak-anak special needs (berkebutuhan khusus) ini, diperkenalkan gangguan perkembangan yang dinamakan autism spectrum disorder (ASD)," lanjutnya menceritakan.
Dirinya melanjutkan ceritanya bahwa sangat tertarik kemudian mencoba magang di salah satu klinik tumbuh kembang anak di dekat rumahnya.
Baca Juga: Lekat dengan Budaya Patriarki, Ini Pentingnya Peran Moms dan Dads Membagi Tugas Pengasuhan Anak
"Sejak itulah saya ingin sekali membantu anak-anak yang memiliki gangguan perkembangan, khususnya autism spectrum disorder," ucap Fabiola.
Meski begitu, setelah terjun dalam dunia psikologi anak selama 20 tahun, tidak hanya ASD saja yang dirinya tangani.
Tapi juga, beragam permasalahan dan gangguan perkembangan pada anak di berbagai tahapan usia.
"Dan itulah yang saya tekuni sampai saat ini," katanya dengan tegas.
Menurut Fabiola, pendidikan anak itu memang menjadi hal utama bagi setiap keluarga.
"Karena memang, pendidikan itu sangat berpengaruh pada tumbuh kembang anak dan juga masa depannya," sebutnya.
"Pendidikan itu sendiri sebenarnya bisa diberikan sedini mungkin, baik dari formal maupun informal. Kalau dari formal, kita bisa memasuki lingkungan pendidikan yang pastinya memberikan stimulasi yang optimal. Tapi tidak hanya itu, kita sebagai orangtua adalah madrasah juga buat anak, madrasah yang pertama, sehingga penting bagi kita juga untuk memberikan pendidikan seperti pendidikan moral, role model, dan juga berbagai kesempatan," lanjutnya menjelaskan.
Termasuk, pendidikan seksual yang sampai saat ini masih dianggap tabu di masyarakat Indonesia.
"Kalau kita bicara tentang tabu itu sebenarnya terkait dengan cara menyampaikan pendidikan seksual itu sendiri. Jadi, tidak harus kita sampaikan kepada anak ya, apalagi yang tidak sesuai dengan usianya," ungkap Fabiola.
Meski begitu, Fabiola menyampaikan bahwa orangtua bisa menyesuaikan dengan usia anak tersebut.
Baca Juga: Psikolog Ungkap 3 Faktor Penyebab Anak Bisa Mengantuk Saat Belajar, Apa Saja?
"Misalnya usia 2 tahun, kita (orangtua) tentu mengajarkan bagaimana toilet training itu sudah harusnya dilewati. Kemudian, bagaimana anak bisa menjaga dan merawat dirinya itu juga bagian dari pendidikan seksual," sebut Fabiola.
"Terus kemudian, bagaimana anak bisa menjalankan perannya sesuai dengan jenis kelaminnya. Lalu, bagaimana peran yang diharapkan. Jadi, gender rule itu juga bagian dari pendidikan seksual," lanjutnya menambahkan.
Fabiola dengan tegas menyampaikan, pemberian pendidikan seksual pada anak ini tergantung dari masing-masing orangtua itu sendiri.
Orangtua bisa menyertakannya dalam aktivitas sehari-hari, termasuk dalam permainan.
Menurut Fabiola, pemberian pendidikan secara luas ini dilakukan agar anak tetap bisa optimal dalam tumbuh kembangnya.
Moms dan Dads harus tahu, selain pendidikan, ternyata peran pola asuh yang diterapkan juga berpengaruh pada tumbuh kembang anak.
Apalagi, kita tentu tahu bahwa anak memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan tidak bisa diberlakukan pola asuh yang sama.
Oleh karena itu, Fabiola menyarankan untuk mengenal terlebih dahulu karakter dari masing-masing anak dalam keluarga.
Psikolog anak ini menyebut ada tiga temperamen anak, yakni temperament easy, temperament slow to warm up, dan temperament difficult.
Dari ketiga temperamen tersebut, dua diantaranya perlu membutuhkan waktu dalam menerima segala sesuatu yang ada di sekitarnya secara bertahap.
Sehingga, tidak bisa dipaksakan dengan pola asuh yang sama.
Setelah mengenal karakteristik masing-masing anak, langkah berikutnya yang bisa dilakukan adalah mencari pola pengasuhan yang sesuai.
"Pola pengasuhan itu kan ada yang otoriter, otoritatif, dan juga permisif. Jadi, memang harus mengenali ya anak-anak kita itu sebaiknya mendapatkan pola pengasuhan seperti apa," terang Fabiola.
Menurutnya, pola asuh yang ideal adalah otoritatif, dimana anak-anak diberikan kesempatan untuk memberikan pendapatnya dan orangtua mendengarkan serta menghargai pendapat tersebut.
Namun juga, dalam pola asuh otoritatid ini, orangtua perlu bersikap tegas kepada anaknya.
Moms dan Dads bisa sesuaikan kembali bagaimana pola asuh yang tepat untuk anak-anaknya, mulai dari usia balita hingga usia remaja. Termasuk, jika memiliki anak kembar.
Terakhir, adalah memberikan metode pembelajaran yang sesuai untuk anak.
Ada tiga macam metode pembelajaran, yakni visual, auditori, dan kinestetik.
"(Gaya belajar) visual itu adalah anak-anak yang memang sangat tertarik pada materi yang berkaitan dengan gambar atau simbol," terang Fabiola.
"Jadi, kalau mengajarkan anak-anak yang memiliki gaya belajar visual, tentunya nanti materinya akan lebih banyak gambar-gambar. Misalnya, mewarnai atau membuat suatu catatan yang menarik dengan warna-warni," lanjutnya menerangkan.
Kemudian untuk metode pembelajaran auditori, anak-anak akan sangat senang jika kegiatan pembelajaran dikaitkan dengan suara.
Mulai dari intonisasi hingga nada suara yang dapat menarik perhatian untuk terus didengarkan.
"Atau, bisa juga melibatkan lagu-lagu yang liriknya itu diganti dengan materi pelajaran. Jadi, hal ini membuat anak-anak auditori ini menjadi tidak ngantuk lagi, tapi bersemangat untuk belajar," jelas Fabiola.
Untuk metode pembelajaran kinestetik, anak-anak cenderung aktif bergerak tanpa henti.
"Jika terjadi hal seperti ini, sebenarnya jangan sampai disikapi sebagai anak yang bandel, enggak bisa diam. Bisa jadi mereka memang memiliki gaya belajar yang unik, yang melibatkan gerak fisiknya," pesan Fabiola.
Untuk itu, psikolog anak ini menyarankan untuk memberikan banyak proyek kepada anak.
"Misalnya, membuat gunung berapi meletus. Ini tuh buat anak-anak sangat menarik, apalagi anak-anak dengan gaya belajar kinestetik," ujarnya.
Fabiola menyetujui bahwa menjadi seorang psikolog anak yang masuk ke dalam ruang praktek itu harus seimbang emosinya.
"Karena kan niatnya membantu. Kalau kita sendiri tidak berdamai dengan emosi kita, kita enggak akan bisa memberikan bantuan secara total, secara penuh," ungkapnya.
Fabiola menceritakan, hal pertama yang dirinya lakukan adalah mengosongkan terlebih dulu.
"Mengosongkan itu bukan berarti mengabaikan. Tapi, mengosongkan adalah apapun yang sebagai manusia kita alami di luar sana. Misalnya, dengan keluarga, dengan pekerjaan, atau dengan teman di luar ruang praktek. Itu memang harus sudah selesai," katanya.
"Caranya yang pertama adalah, dikenali dulu sebelum praktek, hari ini aku memiliki masalah apa, terus terkait dengan siapa. Kita kenali dulu," lanjutnya.
Setelah mengenali, langkah berikutnya yang Fabiola lakukan adalah memahami situasi dan emosi yang dirasakan.
Baca Juga: Apa Saja Dampak Jika Anak Tidak Mendapatkan Pendidikan Sejak Dini? Ini Jawaban Kepala Sekolah
"Dengan situasi seperti ini, kondisi emosi seperti ini, aku kayaknya enggak bisa optimal nanti bekerjanya. Kita kenali dampaknya apa sih," ujar Fabiola.
"Kalau kita terus gitu ya, kalau terhanyut dengan emosi, kemudian kita namakan nih. Kadang-kadang kita salah (memberikan) nama (untuk emosi) lo. Kita marah padahal sebenarnya kita lagi sedih," lanjutnya.
Untuk itu, Fabiola menyarankan untuk mengenal dengan betul emosi yang sedang dirasakan saat itu.
"Nah, ketika kita sudah memberikan nama dengan tepat, baru kita bisa milih tuh, 'Oh kayaknya saya lagi sedih'. Nah, masing-masing orang punya cara menyalurkan emosi yang beda-beda," ungkapnya.
Fabiola sendiri lebih senang menyalurkan emosinya lewat gambar yang dibagikan melalui akun Instagram miliknya.
"Ada beberapa gambar yang aku share di akun aku yang menggambarkan betapa perjuangan seorang ibu dalam menghadapi remaja yang luar biasa itu. Kadang aku enggak bisa sampaikan ke anak, karena situasi dan kondisi belum memungkinkan," ceritanya.
"Aku sampaikan atau salurkan lewat gambar. Setelah emosiku terkuras di gambar itu, aku lebih baik dan aku bisa memiliki pandangan yang positif," lanjutnya.
Positif di sini berarti bukan selalu senyum, tetapi selalu bahagia dan mampu untuk menghadapi tantangan yang ada di hadapannya dengan penuh semangat.
"Setelah sampai di situ, baru aku bisa regulasi. Jadi, regulasi itu sebenarnya ujungnya dan bukan awalnya. Kalau tadi tahapan-tahapan tersebut sudah lewat semua, baru aku lebih mudah untuk meregulasi, untuk menetapkan bahwa aku mau bekerja nih," kata Fabiola.
"Makanya psikolog-psikolog itu dimana pun berada itu pasti akan melewati momen-momen yang harus berdamai dulu gitu sebelum masuk ke dalam ruang praktek," tutupnya.
Untuk anak-anak, Fabiola berharap agar anak-anak Indonesia senang belajar tanpa adanya paksaan ataupun suruhan orangtuanya.
Baca Juga: Kenali Pola Asuh Otoriter dalam Menciptakan Pembelajaran Efektif, Termasuk Dampaknya ke Anak
"Aku harap, mereka itu bisa belajar dengan senang, bisa happy belajarnya," kata Fabiola.
Psikolog anak ini bahkan salut dengan langkah Kementerian Pendidikan membuat Kurikulum Merdeka, dimana anak-anak bebas memilih pelajaran yang disukainya.
"Misalnya, anak aku kan senang banget dengan (pelajaran) sosial. Tapi, kaya ibunya juga mungkin suka dengan hal-hal yang sifatnya lebih ke alam gitu, seperti biologi," ungkapnya.
Sementara untuk orangtua, Fabiola berharap gar tidak ada lagi yang memaksakan anaknya masuk ke jurusan tertentu.
"Misalnya, dulu (orangtua) mau jadi dokter. Tapi karena enggak bisa, jadi anaknya yang harus jadi dokter. Itu sedih banget sih kalau sampai anak itu tidak berada di pekerjaan atau jalur yang tidak sesuai dengan passion-nya," sebutnya.
Apalagi, lanjutnya lagi, di zaman sekarang sudah banyak pekerjaan yang sangat spesifik dan unik sehingga memberikan manfaat yang luar biasa.
"Jadi buat orangtua, harapanku adalah memberikan opportunity (kesempatan), fasilitas pastinya, sarana prasarana yang memungkinkan, enggak perlu memaksakan juga. Karena aku percaya banget, Allah tuh menitipkan anak lengkap dengan rezekinya," ungkap Fabiola.
"Artinya, kalau anaknya mau jadi A, insyaAllah sudah disiapkan (jalannya). Tinggal bagaimana orangtuanya ini cukup positif, cukup semangat supaya anak-anak bisa berkembang sesuai dengan panggilannya," tutupnya.
Baca Juga: Peran Penting Orangtua dalam Menciptakan Pembelajaran yang Efektif dan Menyenangkan pada Anak
Social Bella 2024, Dorong Inovasi dan Transformasi Strategis Industri Kecantikan Indonesia
Penulis | : | Shannon Leonette |
Editor | : | Kirana Riyantika |
KOMENTAR