Nakita.id – Keterbatasan finansial menjadi salah satu momok yang mengintai sebagian masyarakat.
Dikutip dari website bps.go.id, pada tahun 2017 sebanyak 26,58 juta orang (10,12%) penduduk Indonesia digolongkan sebagai penduduk miskin.
Presentase penduduk miskin di daerah perkotaan sebanyak 7,26%, sedangkan di daerah pedesaan lebih tinggi, yaitu sekitar 13,47%.
Salah satu keluarga yang tengah diselimuti kemiskinan adalah keluarga Dasirin (56) dan Tarkonah (50) asal Bukit Mengger, Dukuh Mengger, Desa Sengare, Kecamatan Talun, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah.
Kemiskinan yang menjerat Dasirin terpaksa membuatnya harus rela membawa serta keluarga kecilnya untuk tinggal di kandang kerbau.
Tentu saja kandang kerbau merupakan tempat yang jauh dari kata layak untuk dihuni manusia.
Mulai dari segi kebersihan, hingga kemampuan bangunan melindungi keluarga dari panas, hujan, serta angin sangatlah rendah.
Selain itu, jerami dan kotoran kerbau yang berbau menyengat bisa mengganggu kenyamanan.
BACA JUGA: Tak Ada yang Kenal, Artis Bollywood Ini Menyamar Jadi Pedagang Miskin
Gubuk tempat tinggal Dasirin memiliki ukuran 4x6 meter.
Bisa dibilang sangat sempit untuk menampung keluarga beranggotakan 4 orang.
Gubuk tersebut hanya cukup untuk tidur dan berteduh dari panasnya matahari dan dinginnya air hujan.
Rumah Dasirin ternyata juga jauh dari pemukiman warga.
Dikutip dari Tribunjateng.com, untuk sampai di rumah Dasirin saja perlu menembus hutan dan jalanan yang terjal.
Tempat tinggal Dasirin berjarak sekitar 5 km dari pemukiman warga.
Untuk sampai ke fasilitas kesehatan dan publik, Dasirin dan keluarga perlu berjalan kaki sejauh beberapa kilo meter.
Listrik belum sampai ke rumah Dasirin.
Untuk sedikit menerangi gelapnya malam, keluarga ini menggunakan lampu minyak.
Penerangan ini jauh dari kata layak, mengingat sekitar rumah Dasirin yang juga hutan belantara memiliki kegelapan yang pekat.
Anak tak sekolah, menderita lumpuh dan keterbelakagan mental
Tak hanya rumah yang jauh dari kata layak, Dasirin juga terpaksa membiarkan dua putri kesayangannya Wiwit Setianingsih (16) dan Vivi Ratnasari (10) untuk tidak sekolah.
Jangankan membayar untuk biaya pendidikan, untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari saja sangatlah sulit diupayakan Dasirin.
Terlebih, kondisi fisik Wiwit dan Vivi yang tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan ke sekolah.
Sejak kelas 1 SD, Wiwit tiba-tiba mengalami lumpuh.
Si kecil yang saat itu sedang semangat-semangatnya menempuh pendidikan harus rela putus sekolah karena kesehatannya yang tak memungkinkan dan kurangnya biaya untuk berobat.
Ketika ditanya mengenai keadaan putus sekolahnya, Wiwit tampak sedih.
Ada kerinduan dari dalam dirinya untuk kembali mengenyam pendidikan.
Selain itu, Wiwit ternyata rindu dengan teman-temannya bermain.
Sejak dirinya lumpuh, ia tak bisa bermain dengan teman-temannya, mengingat rumahnya yang cukup jauh dari pemukiman.
“Dulu pernah sekolah tapi hanya kelas satu. Sekarang, rasanya ingin main bersama teman-teman dan pindah dari sini,” kata Wiwit dengan terbata-bata.
Sejak putus sekolah, Wiwit jadi jarang berkomunikasi dengan orang lain selain keluarganya.
Terlebih orangtuanya hanya ada di rumah ketika malam tiba untuk istirahat.
Kesehariannya, Wiwit hanya mengasuh adiknya, Vivi.
Hal ini ternyata berpengaruh dengan kemampuan komunikasi Wiwit.
Wiwit terlihat kesulitan untuk berkomunikasi.
Untuk bercerita saja, ia tak lancar dan sedikit terbata-bata.
Sedangkan adiknya, Vivi mengalami keterbelakangan mental.
Belum diketahui penyebab kelainan mental yang dialami Vivi.
Dasirin juga tak mampu mengobati penyakit anaknya karena keadaan.
Dikutip dari webmd.com, keterbelakangan mental merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan kecerdasan di bawah rata-rata atau kurangnya kemampuan mental dan ketrampilan yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari.
Sebenarnya, seseorang yang mengalami keterbelakangan mental bisa mempelajari keterampilan layaknya orang normal.
Hanya saja, para penderita memerlukan pelatihan khusus dan waktu yang lebih lambat daripada orang pada umumnya.
Keterbelakangan mental memengaruhi sekitar 1% populasi.
Dari sekian banyak orang yang menderita keterbelakangan mental, sekitar 85%-nya termasuk memiliki keterbelakangan mental ringan.
Ini berarti penderita hanya sedikit lebih lambat dibandingkan orang pada umumnya.
Dengan pelatihan dan dukungan yang tepat, sebagian besar penderita akan bisa hidup mandiri layaknya orang normal.
Setiap anak yang mengalami keterbelakangan mental memiliki gejala yang berbeda-beda.
Gejala keterbelakangan mental bisa muncul semasa bayi, atau bisa muncul saat anak sudah memasuki usia sekolah.
Hal ini tergantung dengan tingkat keparahan keterbelakangan mental.
Beberapa gejala keterbelakangan mental yang paling umum adalah:
Namun, beberapa kasus anak yang mengalami keterbelakangan mental parah mungkin memiliki masalah kesehatan lainnya seperti kejang, gangguan mood, gangguan motoric, masalah penglihatan atau pendengaran, dan masih banyak lagi.
BACA JUGA: Dari 6 Bentuk Bibir Ini, Lihat Seperti Apa Bentuk Bibir Mom dan Lihat Artinya!
Mungkin Moms banyak yang bertanya-tanya, apa yang sebenarnya menjadi penyebab keterbelakangan mental?
Dikutip dari webmd.com, penyebab yang paling umum adalah:
Buruh petani
Dalam kesehariannya, Dasirin dan Tarkonah hanyalah seorang buruh tani.
Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, Dasirin dan Tarkonah bekerja dari pagi hingga petang.
Tak hanya menjadi buruh, pasangan ini juga merawat kerbau milik orang lain.
Mulai dari urusan makanan, memandikan kerbau, hingga mengobati kerbau yang tengah sakit.
Dasirin terpaksa memboyong serta keluarganya untuk tinggal di tempat terpencil.
Sebab, dirinya tak memiliki tanah dan tempat tinggal.
Dasirin sudah menempati gubuk tersebut selama satu tahun, namun baru mengajak serta keluarga sejak empat bulan terakhir.
“Mau bagaimana lagi, kami tidak punya apa-apa. Untuk menyambung hidup saja harus banting tulang, naik turun bukit menjadi buruh tani dan merawat kerbau milik orang,” tutur Dasirin.
Walau begitu, Dasirin bersyukur karena memiliki anak-anak yang begitu mengerti kondisi orangtuanya.
Wiwit dan Vivi tak pernah mengeluh meski hidup dalam keterbatasan.
“Kedua anak saya tak pernah mengeluh, mereka tau kondisi keluarga. Walaupun demikian, kadang saya sangat sedih melihat kondisi mereka,” tutur Dasirin yang tak mampu lagi membendung air mata.
Hati Dasirin dan Tarkonah serasa seperti tercabik ketika mendengar permintaan anaknya.
Wiwit dan Vivi pernah mengatakan ingin menjadi anak yang pintar.
Wiwit dan Vivi ingin jadi orang sukses dan membahagiakan orangtuanya.
Istri sering menangis
“Ketika malam, istri sering menangis melihat kondisi anak-anak. Karena kedua anak kami punya keterbatasan ditambah ekonomi kami seperti ini. Kadang, Wiwit dan Vivi mengatakan kepada saya, ingin jadi orang pintar dan ingin belajar. Tapi, apa daya kami, keadaan ini memaksa kami hidup di konsisi seperti ini,” kata Dasirin.
Penghasilannya yang hanya bekerja sebagai buruh tani dan merawat kerbau tidaklah seberapa.
Namun, tinggal di hutan ternyata memiliki keuntungan sendiri untuk keluarga Dasirin.
Untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, tak jarang Dasirin memanfaatkan buah-buahan dan umbi yang ada di hutan.
Dasirin juga berkisah mengenai susahnya hidup di hutan.
Terkadang, ia dan keluarga pernah mengalami keracunan karena makan umbi beracun.
Keracunan makanan ditambah kondisi nutrisi yang kurang tentu saja semakin memperparah kondisi kesehatan Dasirin.
Selain masalah makanan, Dasirin juga pernah mengalami hal mengerikan mengenai hewan hutan.
Pernah binatang hutan masuk ke gubuk dan membuat anak-anaknya takut.
Hal inilah yang cukup membuat Dasirin was-was setiap meninggalkan anak-anaknya di rumah.
Namun, taka da pilihan lain karena hanya dengan Dasirin dan istrinya bekerjalah keluarga kecil mereka bisa hidup.
“Adanya umbi, ya kami makan. Beruntung kalau ada buah. Beberapa waktu lalu, saya juga salah memakan umbi hingga keracunan. Kadang, binatang hutan masuk gubuk kami saat anak-anak tinggal sendirian di gubuk. Kami tak bisa berharap apa-apa dan hanya bisa bertahan,” ujar Dasirin pasrah dengan keadaan.
Dibantu penduduk
Penderitaan Dasirin membuat warga dan perangkat desa Singare terenyuh.
Warga dan perangkat desa sepakat untuk membantu Dasirin agar tak tinggal di kandang kerbau terpencil.
Mereka berbondong-bondong mengumpulkan dana secara swadaya untuk membangun tempat tinggal yang layak untuk keluarga Dasirin.
“Kami sudah putuskan akan membuat tempat tinggal untuk keluarga Dasirin. Lokasinya ada adi dekat kantor Desa Singare,” kata Hasanudin selaku Kepala Desa Singare.
Lokasi calon rumah Dasirin berasal dari tanah desa, sedangkan untuk material keperluan rumah, warga akan bergotong-royong membantu.
“Lokasi yang akan dibangun merupakan tanah desa dan sengaja kami berikan untuk keluarga Dasirin. Terkait material, kami akan mengusahakan bersama warga karena banyak warga yang ingin menyumbang bahan bangunan dan tenaga,” jelas Hasanudin.
Sabtu (1/9/2018), Hasanudin dan para warga Singare mendatangi gubuk Dasirin.
Mereka sempat terkejut karena kondisi keluarga Dasirin yang sangat memprihatinkan.
Secepatnya, Hasanudin bersama para warga akan segera membangun rumah untuk Dasirin.
Selain itu, keluarga Dasirin juga akan dievakuasi secepatnya, terutama Wiwit dan Vivi.
Wiwit dan Vivi perlu segera mendapat pertolongan secara mental agar memulihkan kondisinya.
Kasus jeratan kemiskinan lain
Ternyata, keadaan miris ini bukanlah terjadi pertama kali di tanah air.
Sebelumnya, di awal Agustus 2018 ditemukan keluarga miskin asal To Kaluku, Kelurahan Bombongan, Kecamatan Makale, Tana Toraja, Sulawesi Selatan tinggal di bekas kandang kambing.
Warga miskin tersebut bernama Daeng Tinri (68) yang hidup bersama istri dan cucunya.
Kesehariannya, Daeng Tinri bekerja sebagai seorang supir becak.
Di usianya yang sudah renta, ia harus mengayuh becak di pasar sentral Makale setiap harinya.
Karena tenaganya yang sudah tak sekuat waktu muda, Daeng Tinri hanya mampu mengayuh becak seadanya.
Hal ini yang membuat penghasilan Daeng Tinri sangatlah sedikit.
Dikutip dari TribunToraja.com, berdasarkan informasi dari Shidick selaku Ketua GP Ansor Toraja Raya, rumah Daeng Tinri sangatlah jauh dari kara layak huni.
“Rumah yang mereka tempati, sangat jauh dari kata layak huni, menurut warga sekitar rumahnya, tempat Daeng Tinri tinggal bersama keluarganya adalah bekaskandang kambing,” tutur Shidick.
BACA JUGA: Menpora Imam Nahrawi Pamer Kemesraan dengan Istri di Closing Asian Games 2018
Keadaan Daeng Tinri semakin membuat terenyuh karena kesehatannya yang terus menurun disebabkan faktor usia.
Sudah beberapa pecan Daeng Tinri tak mampu bekerja mengayuh becak.
Kedua kakinya mengalami pembengkakan dan asmanya kambuh.
“Daeng Tinri sedang mengalami pembengkakan pada kedua kakinya dan asmanya terganggu saat kami kunjungi tadi,” tambah Shidick.
Melihat hidup Daeng Tinri yang serba kekurangan, membuat kelompok GP Ansor Toraja Raya terenyuh.
Mereka melakukan aksi sumbangan dana untuk Daeng Tinri.
Itulah dia Moms kisah dua keluarga yang terjerat kemiskinan dan terpaksa tinggal di kandang hewan ternak.
L'Oreal Bersama Perdoski dan Universitas Indonesia Berikan Pendanaan Penelitian dan Inovasi 'Hair & Skin Research Grant 2024'
Source | : | WebMD,Tribun Jateng,tribun |
Penulis | : | Kirana Riyantika |
Editor | : | David Togatorop |
KOMENTAR