Hasil Studi : Ternyata Seperempat Penduduk Dunia Malas Olahraga!

By Soesanti Harini Hartono, Kamis, 27 September 2018 | 20:27 WIB
Data badan kesehatan dunia-WHO, lebih dari seperempat orang di dunia kurang atau bahkan tidak melakukan olahraga. (iStock)

Nakita.id.- Sebagian besar Moms tentu sudah tahu manfaat berolahraga, seperti yang dikatakan dr. Phaidon L. Toruan dari Indonesian Society For Anti Aging Physician (ISAAP).

Olahraga bukan saja membantu mengembalikan kelenturan otot, memperkuat tulang, dan menghilangkan timbunan lemak, tetapi juga sangat baik untuk mengatasi stres.

Buat Moms dan Dads yang banyak beraktivitas di kantor dan di rumah, rutin berolahraga bisa mengurangi rasa nyeri.

Baca Juga : Simak, Ini 5 Fakta Olahraga di Malam Hari Lebih Banyak Manfaatnya

Sering kali saat rasa nyeri muncul baik di punggung, lutut, atau leher, kita mengatasinya dengan berbaring seharian.

Ternyata, hal itu malah membuat rasa nyeri makin bertambah. Untuk mengurangi rasa nyeri tersebut sebaiknya berolahraga.

Menurut Bonnie Bruce, peneliti dari Stanford Research Scientist, seperti dikutip dari Real simple, 8 Oktober 2009, orang dewasa yang melakukan latihan aerobik secara teratur akan mengurangi resiko nyeri otot hingga 25%.

Olahraga juga membuat kita lebih bahagia dan bersemangat karena gaya hidup aktif dan sehat akan berdampak positif pada keadaan psikologis seseorang.

Baca Juga : TBC Lebih Mematikan Dibanding Malaria dan HIV, Kata Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek

Penelitian yang dilakukan tim dari University of Bristol, di Inggris mengungkapkan seseorang yang berolahraga secara teratur, pribadinya akan lebih menyenangkan dan selalu bersemangat.

 

Namun meski olahraga banyak manfaatnya, faktanya menurut data badan kesehatan dunia-WHO, lebih dari seperempat orang di dunia kurang atau bahkan tidak melakukan olahraga.

Temuan ini tak jauh berbeda dari hasil penelitian yang telah dikeluarkan WHO pada 2001 lalu.

Padahal, gaya hidup mager atau malas gerak sangat berhubungan dengan risiko penyakit mematikan seperti diabetes tipe dua, beberapa jenis kanker dan masalah kardiovaskular.

Baca Juga : Moms Gemuk Ingin Lakukan Yoga? Ini Panduan Memilih Gerakan Yang Aman

Temuan WHO tak terbatas hanya pada negara berkembang dan miskin saja tetapi juga negara dengan penghasilan tinggi seperti Amerika Serikat dan Inggris.

Peneliri dari World Health Organization (WHO) melihat data internal dari 358 populasi di 168 negara dengan total 1.9 juta jiwa.

Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Lancet Public Health menyatakan bahwa jumlah pendudukan malas gerak di negara kaya meningkat dari 32% pada 2001 menjadi 37% pada 2016.

Sementara di negara dengan pendapatan rendah, angkanya tetap stabil yaitu 16%. 

Baca Juga : Gemuk Tapi Sehat Ternyata Ada, Ini Kriterianya Yang Wajib Diketahui!

Mereka yang termasuk kategori kurang gerak biasanya hanya 150 menit gerak santai atau 75 menit gerak cepat dalam waktu satu minggu.

Sementara itu, perempuan di semua tempat kecuali Asia Timur dan Asia Tenggara, kurang aktif bergerak dibanding laki-laki.

Perbedaan sangat ketara di kawasan Asia Selatan, Asia Tengah, Timur Tengah, Afrika Utara dan negara kaya di Barat.

Baca Juga : Moms, Ini Dampak Mengerikan Akibat Malas Ganti Sprei Tempat Tidur!

Peneliti mengatakan, beberapa faktor yang menyebabkan fenomena malas gerak adalah menjaga anak seharian serta perilaku budaya yang membuat mereka semakin sulit untuk bergerak.

Sementara di negara berpenghasilan tinggi, faktor utamanya adalah pekerjaan yang santai, hobi serta penggunaan kendaraan motor yang masif.

Laporan ini menjadi perhatian karena pada 2025 WHO menargetkan penurunan masyarakat kurang gerak hingga 10%.

Baca Juga : Mengenal Ferulic Acid, Antioksidan Alami Penghambat Kerut di Wajah

"Tidak seperti masalah kesehatan besar yang lain, level kebiasaan malas gerak tidak jatuh menyeluruh, dalam rata-rata, dan seperempatnya orang dewasa tidak melakukan gerak sesuai rekomendasi demi kebaikan kesehatan.

Regional yang levelnya meningkat adalah perhatian yang besar bagi kesehatan publik," kata kepala peneliti dari WHO, Dr Regina Guthold. (*)