Nakita.id – Dalam hubungan rumah tangga, pertengkaran dan perbedaan pendapat menjadi bumbu yang seolah menambah sedap pernikahan.
Karena sejatinya, pernikahan adalah menyatukan dua belah pihak, yang bukan tidak mungkin bahwa pasangan tersebut tidak bertengkar.
Pasti ada perbedaan paham dan pendapat yang membuat pertengkaran kecil dalam rumah tangga.
Tetapi hal tersebut bisa segera diatasi dengan bagaimana pasangan saling bersikap satu sama lain.
Pertengkaran baik dalam rumah tangga maupun lingkup sosial memang tak boleh bertehan lam.
Ini karena akan merusak hubungan dan juga secara psikologis juga akan bepengaruh pada komunikasi sosial seseorang.
Cara pasangan berdebat atau bertengkar pasti juga berbeda-beda, begitu pula dengan cara penyelesaiannya.
Menurut Psikoterapis, Vikki Stark, yang juga seorang direktur Pusat Konseling Sedona Montreal, “Daripada menyerang karakter orang lain, pasangan bahagia bisa mewarnai dan mengekspresikan perasaan mereka sendiri,” ujarnya kepada Huffington Post.
Stark mengatakan bahwa tidak masalah bila pasangan berselisih paham dan mengatakan kemarahan serta kekesalannya.
“Tidak apa-apa untuk mengatakan, ‘Aku marah padamu sekarang!’ Tetapi tidak akan baik untuk mengatakan, ‘Maaf hanya alasan setiap manusia.’”
Dari pendapat itu, maka disimpulkan bahwa Stark memaklumi pertengkaran yang terjadi dalam rumah tangga.
Hal ini dianggap wajar karena kepala manusia pasti berbeda-beda.
Tetapi, menurutnya, setiap pertengkaran dan pemecahan masalah tiap pasangan akan berbeda-beda.
Di antaranya ada berbagai cara yang diambil setiap pasangan tiap kali mereka berkelahi!
1. Mereka tidak pergi dari masalah
Pasangan yang dewasa tidak akan lari atua menghindar dari masalah pertengkaran.
Mereka yang bersedia berdiskusi meski akan berdebat merupakan pasangan yang dianggap dapat mengatasi masalah rumah tangganya.
Jangan pula dengan mudah menanyakan pertanyaan besar dan berisiko menimbulkan masalah, seperti, “Kapan kita bisa segera punya anak?”, atau “Apa yang akan kita lakukan kalau kamu mendapat pekerjaan lain? Aku tidak ingin pindah ke sana (tempat kerja baru!)”.
Menurut Diane Sawaya Cloutier, seorang penulis dan ahli hubungan, adanya pertanyaan tersebut justru akan merusak komunikasi dan diskusi dan justru permasalahannya akan makin melebar dan lebih besar.
“Ketika hal tak wajar atau topik yang sedang dibicarakan justru mengarah ke hal yang makin tajam, mereka bisa makin berbahaya dan akan muncul drama baru yang besar yang sebenarnya tidak ada hubungannya,” ujar Cloutier.
Itulah mengapa mendiskusikan masalah yang ringan dan juga diselesaikan secara baik dapat membantu mengolah potensi pertengkaran yang makin membesar.
2. Mereka mulai lambat dan memberi kesempatan berbicara
Ini adalah trik paling sulit, pada umunya, argument pasti bertujuan untuk mencari kebenaran.
Namun, menurut Bonnie Ray Kennan, seorang terapis pernikahan dan keluarga, Kennan mengatakan, “Argumen umumnya berakhir dengan cara yang sama seperti yang mereka mulai.”
“Memulai percakapan yang sulit dengan lembut dan penuh hormat secara dramatis akan memungkinkan hasil yang baik,” ujarnya.
Maka dari itu, Kennan menyarankan bahwa menekan sikap keras dan mencoba melunak, terutama pria, untuk mempermudah masalah segera selesai dan tidak menjadi problema yang makin besar.
3. Mereka tidak menyebut panggilan seperti biasanya
Pasangan yang bahagia dalam hubungan jangka panjang dinilai jarang terlibat dalam perkelahian yang berlarut-larut karena ‘masalah kecil yang dibesar-besarkan’.
Contohnya, ketika pasangan tidak memanggil panggilan sayang seperti biasa, beberapa orang akan marah dan memperbesar masalah yang awalnya tengah dihadapi.
Dengan adanya kebiasaan tersebut, Kennan mengatakan, “Seiring waktu, mereka menjadi sadar akan efek dari pertengkaran semacam itu.”
4. Mereka tahu cara menenangkan diri
Ketika segala sesuatu terasa tak terkendali, para pasangan yang cerdas tahu bagaimana cara mengendalikan emosi mereka.
Mereka menghargai untuk meluangkan waktu dan memberi pengertian serta menginformasikan kepada pasangan bahwa ada waktu luang yang bisa digunakan keduanya untuk berkumpul dan bercengkerama.
“Pasangan ini tahu bagaimana mengakui dan menghormati emosi mereka tanpa diserang oleh mereka,” ujar Amy Kipp, seorang terapis pasangan dan keluarga.
“Mereka menggunakan keterampilan untuk menenangkan diri dan memastikan bahwa mereka dalam kondisi terbaik. Ketika kedua pasangan mampu menenangkan diri dan beristirahat, mereka biasanya mampu mencapai resolusi (keputusan) dengan lebih mudah.”
Baca Juga : Suami Shezy Ingin Cerai Sejak Setahun Nikah, Fenomena 'Ganjil' Usia Pernikahan Rentan Perceraian
5. Mereka menetapkan aturan dasar untuk argumen
Bukannya pasangan yang sudah lama tidak pernah melakukan pertengkaran atau menyesalkan suatu keputusan, ada kalanya mereka mengalami dua hal tersebut.
Tetapi mereka mampu belajar dari kesalahan yang telah dilakukan masa lalu dan kemudian bangkit untuk memperbaikinya.
Setelah pertengkaran bermuatan emosional berakhir, pasangan yang cerdas menetapkan beberapa aturan dasar untuk berdebat sehingga tidak pernah lepas kendali lagi untuk menyelewengkan kepercayaan, begitu kata penulis dan pakar hubungan Mario P. Cloutier.
Peraturan yang biasa mereka buat, “Kami tidak akan mengganggu satu sama lain ketika seseorang memberikan pendapatnya."
Cloutier mengungkapkan bahwa aturan seperti itu bukan tentang mencari kebenaran melainkan mendapatkan kesamaan sehingga mudah menghadapi masalah.
6. Mengakui perasaan dan sudut pandang masing-masing
Banyak pasangan yang kerap mengandalkan egonya masing-masing.
Tetapi, mereka yang baik adalah pasangan yang mampu menyelesaikan masalah dengan mengakui perasaan masing-masing, kemudian melihat dari sudut pandang masing-masing.
“Mereka mungkin berkata, ‘Saya tahu Anda melihatnya secara berbeda dari saya, tetapi saya menghargai bahwa Anda mendengarkan perspektif saya,”” ujar Kipp.
Kipp percaya bahwa cara tersebut mampu mengurangi sikap defensif dan memungkinkan percakapan yang lebih produktif.”
7. Saling memberi manfaat dari berbagai keraguan
Pasangan yang memiliki argument sehat dan produktif tidak langsung mengambil kesimpulan di tengah perkelahian.
Mereka mencoba menenangkan diri dari perasaan tak nyaman dan mendengarkan serta mencoba mencari manfaat dari keraguannya sendiri.
“Hubungan yang sehat berarti bahwa orang menganggap pasangan mereka melakukan yang terbaik yang mereka dapat saat ini,” jelas Kipp.
“Dalam sebuah argumen, ini berarti mengasumsikan kedua pasangan memiliki tujuan yang sama: sebuah resolusi yang saling menguntungkan. Ini memungkinkan argumen untuk menjadi upaya tim untuk mencapai tujuan daripada pertengkaran.”
8. Mereka tidak lupa bahwa mereka adalah satu tim
Suami-istri merupakan satu tim, dalam keadaan suka maupun duka. Bahkan saat mereka adu argumen yang menegangkan, mereka tetaplah sebuah tim.
Saat sedang kaya atau miskin, dalam keadaan sakit maupun sehat. Dan sampai perdebatan yang dialami terasa meresahkan, kedua belah pihak tak akan egois dan mementingkan kepentingan berdua.
“Pasangan dalam hubungan jangka panjang yang telah memuaskan, mampu mengingat dan tak peduli betapa marahnya mereka dan kehidupan terus berlanjut setelah pertengkaran ini,” ujar Stark.
“Karena itu, mereka tidak ingin melakukan kerusakan atau perpisahan. Bahkan dalam keadaan emosional, mereka mampu bertahan dengan nilai jangka panjang dari pasangan. Mereka adalah tim, melindungi masa depan bersama-sama.”
Akan tetapi, bukan berarti pasangan yang tidak pernah bertengkar itu bahagia lho Moms!
Pasangan yang Tidak Bertengkar Tidak Bahagia
Melansir dari Kompas.com, psikolog bernama Joshua Klapow mengatakan, beberapa pasangan mampu menjalin hubungan tanpa perdebatan karena mereka mampu mengomunikasikan keinginan, kebutuhan, preferensi dan pendapat mereka dengan cara yang dapat diterima satu sama lain.
Pasangan yang terlihat "adem ayem" bukan berarti sama sekali tak pernah berselisih. Hanya saja, kata Klapow, mereka mampu menyelesaikan perselisihan itu.
Atau setidaknya, mereka saling mendengar dan saling berusaha untuk memperbaiki konflik.
“Pasangan yang berkomunikasi secara jujur, otentik, dan fokus pada berbagai informasi serta saling belajar untuk mengalah, cenderung lebih sedikit berdebat,” ucapnya.
Perbedaan pendapat tersebut tidak berlanjut menjadi sebuah perdebatan. Kuncinya, pasangan tersebut mampu mengelola konflik yang dihadapi agar tak berubah menjadi sebuah pertengkaran.
Di sisi lain, jika pasangan tidak pernah mengalami pertengkaran karena bertekad menghindari semua konflik, terlepas dari bagaimana hal tersebut mempengaruhi mereka, hal ini justru berakibat fatal untuk hubungan.
“Emosi yang terkait dengan perbedaan pendapat masih ada, bahkan dapat membuat hubungan semakin renggang,” kata Klapow.
Selain itu, menghindar dari konflik juga menyebabkan miskomunikasi dan salah persepsi tentang kualitas hubungan.
Mereka yang terus berusaha menghindari konflik, secara sadar atau tidak, dapat membenci pasangannya karena mengabaikan emosi mereka sendiri.
Namun, jika kita tak yakin mengapa hubungan jarang diwarnai oleh konflik, Klapow menyarankan kita untuk menanyakan beberapa hal dalam diri.
Tanyakan pada diri apakah ada topik, masalah, dan situasi yang kita rasa memiliki persepsi yang berbeda dengan pasangan.
Kita juga perlu menyakan pada diri sendiri apakah hal yang menyebabkan kita menghindar dari konflik dengan pasangan.
Bisa jadi, kita menghindari konflik karena takut akan pertengkaran, takut akan apa yang mungkin dikatakan atau dilakukan oleh pasangan, atau mungkin, kita takut jika pertengkaran itu akan merusak hubungan kita.
Selain itu, malas untuk berkomunikasi dengan si dia bisa menjadi alasan kita menghindari pertengkaran. Jika salah satu dari hal yang disebutkan di atas menjadi alasan kita untuk menghindari konflik, bisa jadi itu pertanda bahaya bagi hubungan kita.
"Artinya kita memiliki masalah komunikasi yang lebih besar, dan kurangnya perdebatan sebenarnya merupakan tanda dari itu," katanya.
Intinya, mengalami pertengkaran atau tidak dalam sebuah hubungan bukan tolak ukur kebahagiaan dalam kehidupan asmara.
Tapi, alasan ketiadaan atau munculnya pertengkaran itulah yang menjadi tolak ukurnya. Klapow mengatakan pasangan yang tak pernah berdebat karena mampu mengelola konflik dengan sehat adalah pasangan yang paling berbahagia.
Sebaliknya, mereka yang justru terlihat akur karena takut untuk menghadapi konflik, itulah pasangan yang sebenarnya menyimpan banyak prahara dalam hubungannya.
Pasangan yang Sering Bertengkar Justru Bahagia
Kebalikan dari pasangan yang tidak pernah bertengkar tidak bahagia, menurut The Guardian, pasnagan yang kerap berselisih paham justru lebih bahagia.
Pendapat ini dibuktikan melalui survey dan juga penelitian.
Menurut Co-author Crucial Conversations, Joseph Grenny, menghindari konflik dan menyimpan perasaan justru akan memunculkan ketidakbahagiaan.
“Kesalahan terbesar yang dilakukan pasangan adalah penghindaran,” ujar Grenny. “Kami merasakan sesuatu tetapi tidak berkata apa-apa. Setidaknya sampai kita tidak tahan lagi. Jadi kami menunggu sampai kami yakin untuk mendiskusikannya dengan buruk sebelum kami membahasnya,” ujarnya.
“Kami cenderung menghindari percakapan ini karena kami sadar akan risiko berbicara, tetapi tidak sadar akan risiko tidak berbicara,” katanya.
Baca Juga : Mulan Jameela dan Mayangsari Dianggap Menikah dari Hasil Selingkuh, Ini Efek Menikah dengan Selingkuhan
Pasangan yang menanggapi survey ini ternyata mengatakan bahwa kurangnya komunikasi yang tepat justru dapat berkontribusi menciptakan perpecahan dalam hubungan.
Lebih baik berbicara atau berdebat satu sama lain untuk memberi kesempatan bertukar argumen dan mengetahui maksud dan kemauan masing-masing sehingga menemui jalan keluar.
“Keberhasilan suatu hubungan ditentukan oleh cara di mana isu-isu sensitif diperdebatkan,” kata Grenny.
“Cinta sejati membutuhkan masalah. Keintiman sejati bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang kebenaran. Dan percakapan penting adalah sarana untuk mengungkap kebenaran dengan cara percaya, dan komunikasi.”
Jadi, bila Moms termasuk pasangan yang kerap bertengkar, itu bukan justru jadi jurang perpisahan. Karena di mana hubungan masih ada perdebatan, maka solusi dan juga cara keluar dari masalah masih bisa dikomunikasikan.
Source | : | Kompas.com,menshealth,Huffpost |
Penulis | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
Editor | : | David Togatorop |
KOMENTAR