Nakita.id - Saat ini umat muslim tengah menjalani puasa di hari-hari pertama bulan Ramadan.
Tentunya hal itu membuat umat muslim dalam 1 bulan ke depan tidak makan serta minum sejak matahari terbit hingga matahari tenggelam.
Akibatnya tak jarang orang yang merasakan lemas di tubuhnya ketika menjalankan puasa.
Baca Juga: Cari Tahu Yuk Moms, Cara Jaga Daya Tahan Tubuh Ibu Hamil Saat Puasa Agar Tetap Bugar dan Fit
Mungkin di hari pertama belum terlalu terasa, terlebih kini tengah berlaku PSBB sehingga aktivitas luar rumah lebih terbatas.
Tapi tahu tidak Moms? Rasa lemas tersebut ternyata ada alasannya secara ilmiah lo.
Diungkapkan dokter ahli gizi dan magister ilmu filsafat, Dr dr Tan Shot Yen, M.Hum bahwa puasa bersifat fisiklah yang membuat orang mudah lemas.
"Kalau cuma puasa fisik, ya lemas," ujar Tan kepada dikutip dari kompas.com, Kamis (23/4/2020).
Puasa fisik yang dimaksud Tan sendiri yaitu orang yang hanya menahan lapar dan haus.
Pasalnya orang-orang yang menjalankan puasa fisik akan terus memikirkan rentetan makanan yang akan disantap saat berbuka puasa nanti.
Ketika hal itu terjadi maka memicu hormon pemenuh kenikmatan jasmani diproduksi lebih banyak seperti dopamin dan serotonin.
Apabila hormon tersebut diproduksi lebih banyak akan membuat rasa ingin memuaskan tubuh untuk makan dan minum lebih tinggi lagi.
"Kalau cuma sekadar puasa fisik, ya akhirnya cuma nahan-nahan lapar aja. Jadi di kepala yang muter-muter cuma daftar makanan," ujar Tan.
Tanpa disadari melakukan hal demikian hanya akan membuat tubuh lemas akibat pikiran yang terus bekerja.
Bahkan Tan menyebutkan terdapat siklus 'lingkaran sesat' yang membuat tubuh cepat lemah akibat berbuasa.
Apabila masuk dalam 'lingkaran sesat' akan membuat stimulus dopamin menjadi berlebih.
Dampaknya rasa lapar dan haus akan semakin tinggi yang berujung makan serta minum berlebih ketika berbuka puasa.
Tanpa disadari bukan hanya perut begah, tetapi juga risiko kanker, penyakit jantung, infeksi, gangguan pencernaan, dan perpendekan telomer juga akan terjadi.
Hal itu terjadi karena adanya rasa malas untuk berberak sehingga mengganggu suasana hati dan terjadilah gangguan hormonal.
Baca Juga: Agar Kondisi Janin Bila Ibu Hamil Berpuasa Tidak Menurun, Lakukan Hal Ini Saat Sahur dan Buka Puasa
Terlebih ketika sahur atau berbuka makanan yang dikonsumsi justru tinggi kalori, rendah serat, dan cepat dicerna menjadi gula.
"Dopamin adalah hormon kepuasan. Hobinya teriak-teriak minta dipuaskan. Kebayang jika dimanjain (membayangkan makanan terus selama berpuasa)," ujarnya.
Daripada demikian, pastikan Moms dan Dads jutru masuk ke dalam 'lingkaran sehat' puasa.
Padahal, ditegaskan dia, jika orang yang berpuasa itu melakukan puasa disertai dengan puasa spiritual, maka yang terbentuk di dalam tubuhnya adalah hormon endorphin.
Di mana hormon ini berfungsi sebagai sumber rasa tenang dan bahagia.
Menyertai puasa spiritual juga akan membuat redanya dorongan disik, dan meningkatkan rasa sabar.
Jadi ketika berpuasa menyertai puasa spiritual, siklus yang disebut dengan "lingkaran sehat" pun akan terbentuk.
Ketika terbentuk maka stimulasi dopamin akan cukup sehingga rasa kenyang lebih tahan lama.
Dampaknya berat badan akan stabil, tubuh kuat, sehat, dan proposional.
Tak hanya itu, Moms dan Dads juga tetap dapat bergerak dengan aktif karena suasana hati dan hormonal yang baik serta stabil.
Baca Juga: Puasa Saat Pandemi Covid, Ini Menu Sahur dan Berbuka Puasa yang Buat Tubuh Tidak Gampang Sakit
Perhatikan juga makanan yang dikonsumsi agar rendah kalori, tinggi serat, lambat dicerna menjadi gula, dan tinggi antioksidan.
"Padahal kalau dibarengi puasa spriritual, maka orang-orang ini akan menemukan ketenangan selama sholat, dzikir, dan semua ibadah dapat menghasilkan endorphin, hormon rasa bahagia," jelas dia.
Kebahagian dan ketenangan diri secara emosinal akan membantu menekan hormon dopamin, dan menghindari diri dari rasa lemas saat menjalani ibadah puasa.
Perempuan Inovasi 2024 Demo Day, Dorong Perempuan Aktif dalam Kegiatan Ekonomi Digital dan Industri Teknologi
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Gabriela Stefani |
Editor | : | Nita Febriani |
KOMENTAR