Nakita.id - Benarkah mitos vs fakta kehamilan kembar terkait para ibu rentan terkena postpartum depression?
Apakah Moms sering mendambakan terjadinya kehamilan kembar?
Bagi sebagian besar Moms, kehadiran anak kembar dalam keluarga kecilnya akan membuat suasana rumah semakin ramai.
Bahkan, mengasuh anak kembar bisa menjadi suatu pengalaman tersendiri.
Namun, Moms harus ingat, mengasuh anak kembar bukanlah hal yang mudah.
Sesaat setelah melahirkan, Moms perlu segera menyusui kedua anaknya setiap 2-3 jam.
Sehingga, tak heran jika hal tersebut mungkin membuat Moms mengalami postpartum depression.
Akan tetapi, benarkah anggapan tersebut?
Tanpa berlama-lama, yuk kita simak penjelasan lebih lengkapnya disini.
Baca Juga: Jangan Sampai Telat Tahu, Yuk Kenali Tanda-tanda Awal Postpartum Depression
Moms, mitos vs fakta kehamilan kembar terkait para ibu rentan terkena postpartum depression itu belum tentu benar.
Menurut Monica Sulistiawati, M.Psi., Psikolog Klinis dari Personal Growth, berdasarkan beberapa penelitian, ada sekitar 10-20 persen ibu yang baru melahirkan mengalami postpartum depression.
“Di dalam penelitian tersebut, tidak disampaikan apakah itu kehamilan tunggal atau di dalamnya ada partisipan dengan kehamilan kembar,” terang Monica.
“Tapi oke, let’s say itu adalah kehamilan tunggal atau kehamilan yang secara umum. 10 sampai 20 persen,” katanya melanjutkan.
Monica pun menyampaikan bahwa risiko memang menjadi lebih tinggi pada ibu-ibu yang mengalami kehamilan kembar.
Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti para ibu yang mengalami kehamilan kembar pasti mengalami postpartum depression.
“Belum tentu, karena penyebabnya banyak. bukan hanya dari faktor pengasuhan atau kelelahan pasca melahirkan, tidak. faktor yang lainnya banyak.”
Monica menyebut ada faktor genetik, faktor hormonal, ataupun faktor riwayat kesehatan mental yang bisa jadi muncul lagi.
Lantas, bagaimana cara menyiasati postpartum depression jika benar-benar terkena.
Menurut Monica, secara umum sebenarnya sama.
“Ada dua yang bisa dilakukan, yaitu yang satu kita fokus ke masalahnya (problem focus), satu lagi fokus ke emosinya (emotion focus),” sebutnya.
Problem focus yang dimaksud Monica ini lebih ke mengenali dulu apa yang menyebabkan seseorang mengalami postpartum depression ini.
“Apakah misalnya karena kita kurang tidur, ya. Sudah berapa hari kita enggak tidur, misalnya seperti itu. Apalagi, di awal-awal kelahiran kan disarankan para bayi ini diberikan susu setiap dua sampai tiga jam sekali gitu,” jelas Monica.
“Kalau si mamanya ini kurang tidur, berarti apa yang bisa dilakukan? Oh, barangkali gantian (dengan pasangan). Kalau malam, biarin si mamanya tidur, papanya yang menyusui. Itu bisa diakali dengan ASI-nya diperah, misalnya,” lanjutnya.
Kemudian, emotion focus yang dimaksud Monica ini lebih ke emosi dari ibunya sendiri.
“Ketika dia mengalami depresi, bagaimana caranya supaya dia bisa menstabilkan emosinya lagi? Mungkin dia butuh waktu ‘libur’,” ucap Monica
“Misalkan, ibunya butuh waktu buat me time. Atau, misalnya dia butuh waktu untuk hang out dengan teman-temannya. Silakan,” lanjutnya.
Selain itu, Monica juga menyampaikan bahwa mungkin ada beberapa tradisi yang mempengaruhinya.
Salah satunya yang mungkin sering Moms dengar adalah, 40 hari setelah kelahiran, para ibu tidak boleh mandi, tidak boleh hang out, bahkan tidak boleh minum air putih.
“Nah, kita lihat, apakah itu yang mengakibatkan si ibu ini depresi. Barangkali itu yang perlu kita siasati,” kata Monica.
“Kalau itu semua kita sudah telusuri, apa sih penyebab depresinya, apa sih penyebab dia mengalami kecemasannya misalnya, tapi kok rasanya tetap sulit untuk mengatasi bahkan timbul misalnya gangguan pada bumil tidak lagi bisa merawat dirinya sendiri. Misalnya, mau mandi, ya enggak bisa mandi,” lanjutnya.
Apalagi, bangun dari tempat tidur saja tidak bisa, juga ketika bayinya menangis, dia tidak bisa menggendong bayinya bahkan ikutan menangis.
“Ini kita harus lihat. Kalau si bumil ini sampai tidak bisa merawat dirinya sendiri dan tidak bisa melakukan pengasuhan dengan baik, berarti dia perlu sesegera mungkin melakukan konsultasi dengan psikolog atau bahkan psikiater. Perlu dibantu sesegera mungkin,” saran Monica.
Seorang ibu bisa langsung konsultasi ke dua pihak tersebut apabila merasa sudah tidak bisa menjalankan fungsi dirinya dengan baik sebagai individu, maupun sebagai ibu yang merawat anak. Atau, mungkin, apabila merasa sudah timbul keinginan untuk menyakiti diri sendiri, bayi, maupun orang lain.
“Itu enggak boleh ditunda. Jadi, itu dua yang harus kita, bisa dibilang, aware (sadar) banget ya,” tutup Monica.
Untuk mengetahui cara menyiasati postpartum depression yang rentan dialami ibu, cek halaman 2. (*)
Penulis | : | Shannon Leonette |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR